Banyak
para ahli mengatakan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi
demokrasi dan bahkan mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat
demokratis. Hal ini tentu merupakan ironi, sebab sejarah menyebutkan bahwa
Islam dan demokrasi tidak pernah bersinggungan. Demokrasi berasal dari bangsa
Yunani kuno pada abad ke empat sebelum masehi, sementara Islam mulai dikenal
dunia di jazirah Arab pada tahun 1 hijriyah. Dilihat dari sisi sejarah, jelas
tidak berhubungan antara demokrasi dan Islam.
Para
ahli itu mengatakan bahwa prinsip-prinsip demokrasi seperti musyawarah sangat
sesuai dengan Islam, sehingga mereka mengatakan bahwa Islam merupakan agama
yang sangat demokratis. Hal ini perlu dikritisi sebab
ada perbedaan yang sangat jauh antara musyawarah dalam demokrasi dan musyawarah
dalam Islam.
Konsep Islam dalam Musyawarah (Syura’)
Musyawarah atau Syura’ dalam makna bahasa mengandung pengertian, mengeluarkan madu dari sarang lilin
(lebah) {Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân
al-‘Arab, jilid II halaman 379-381, pada pasal sya-wa-ra} bisa juga
diartikan, menampakkan diri dalam medan perang (isti‘râdh an-nafs fi maydan al-qitâl); dan sebagainya (Al-Khalidi,
1980: 141; Zallum, 2002: 216).
Sementara
menurut pengertian syariah yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah syura’ berarti mengambil pendapat
(An-Nabhani, 1994: 246). Lebih jelasnya syura’ mengandung pengertian mencari
pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra’y[i] min al-mustasyâr) (Zallum, 2002: 216). Istilah
lain dari syura adalah masyûrah (An-Nabhani,
2001: 111) atau at-tasyâwur (An-Nabhani,
1994: 246).
Perbedaan
mendasar musyawarah dalam Islam dan demokrasi adalah, dalam demokrasi segala
hal bisa dimusyawarahkan dan dicarikan jalan tengah (kompromi). Sementara dalam
Islam musyawarah hanya bersifat mandub (sunnah) yang dapat diambil oleh seorang
khalifah untuk memutuskan sebuah perkara yang tidak terkait dengan hukum-hukum
Syariah Islam.
Dalam
demokrasi pendapat suara mayoritaslah yang menentukan sebuah keputusan hukum
yang wajib dilaksanakan, sementara dalam Islam sekalipun pendapat mayoritas
tetapi hal tersebut tidak menjadi sebuah keputusan yang wajib untuk
dilaksanakan. Hal ini tercermin dalam perjanjian Hudaibiyah, dimana saat itu
mayoritas sahabat Rasul menolak perjanjian tersebut namun Rasulullah SAW
mengesampingkan pendapat mayoritas para sahabat tersebut. Beliau tetap
menyetujui perjanjian tersebut seraya bersabda,
“إِنِّي
عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُ وَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ”
Sesungguhnya
aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi
perintah-Nya. (HR
al-Bukhari dan Muslim. Lihat Fath al-Bari, VI/276; Shahîh Muslim XII/141;
Majma‘ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, V/225).
Para sahabat pun menerima
keputusan Rasul tersebut tanpa ada keberatan lagi. Dari peristiwa tersebut
diatas tentu dapat diambil kesimpulan bahwa Islam tidak mengenal suara
mayoritas dalam perkara-perkara wahyu dari Illahi.
Sementara demokrasi menjadikan
suara mayoritas sebagai sebuah keputusan yang harus dilaksanakan, sekalipun
bertentangan dengan nilai-nilai agama. Beberapa contohnya salah satunya adalah,
kenaikan TDL yang telah disahkan per tanggal 1 Juli 2010, setelah melalui
beberapa kali sidang dan rapat yang menghabiskan dana yang tidak sedikit
akhirnya mayoritas anggota DPR setuju kenaikan TDL kisaran 6-20% untuk
pemakaian listrik diatas 900 Kwh.
Hal ini tentu sangat bertentangan
dengan Islam yang telah menggariskan bahwa energi listrik seharusnya dikelola
oleh negara dan digunakan untuk masyarakat dengan harga yang sangat murah atau
bahkan gratis. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, api, air dan padang rumput” (HR. Abu dawud)
Islam memang menganjurkan untuk
bermusyawarah seperti dalam Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 233,
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan”. (QS.2 :
233)
Imam
Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang ayat ini mengatakan, “yakni jika kedua orangtua si bayi telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya memandang
ada kebaikan dalam hal itu bagi si bayi, dan setelah keduanya bermusyawarah
dalam mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Namun keputusan
itu tidak boleh hanya berasal dari salah satu pihak saja (ayah atau ibu). Salah
satu pihak tidak boleh memaksakan kehendaknya tanpa musyawarah dengan pihak
lainnya”.
Dalam perkara ini maka musyawarah
dapat dilakukan antara suami isteri dan itu sebaiknya tidak dilakukan secara
sepihak. Dalam artian dari pihak suami saja atau isteri saja, melainkan
kedua-duanya bermusyawarah dalam hal tersebut. Jika dilakukan hal tersebut
tentu lebih baik ketimbang tidak dilakukan.
Dalam Islam seorang Khalifah
berhak melakukan musyawarah dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan hukum
syara’. Misalnya tentang hal penetapan hudud yaitu hukuman yang datangnya
langsung dari Allah SWT. Khalifah tidak boleh melakukan musyawarah dalam hal
ini, dengan kata lain, Khalifah harus langsung melakukannya tanpa pandang bulu.
Misalnya ada seorang muslim yang
melakukan tindakan zina maka berdasarkan firman Allah dalam QS. An Nuur ayat 2
:
Artinya,
“Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman”. (QS.
24 : 2)
Dalam hal ini seorang khalifah
tidak diperbolehkan melakukan musyawarah dalam hal penetapan hukum tersebut, tetapi
seorang khalifah harus langsung melakukan hukuman tersebut kepada mereka yang
melakukan perzinaan.
Kemudian, apakah dalam musyawarah
harus mengikuti pendapat mayoritas atau tidak? Dalam hal ini Islam memberikan
garis tegas yang membedakannya dengan demokrasi. Pertama dalam hal penentuan hukum
syariat atau legislasi. Dalam hal ini tidak bergantung kepada suara mayoritas,
tetapi berdasarkan kepada apa yang telah diwahyukan oleh Allah. Sebab yang
menjadi Pembuat Hukum dalam Islam hanyalah Allah SWT bukan khalifah, ummat atau
rakyat.
Sedangkan yang berwenang untuk
melakukan proses legislasi adalah seorang khalifah saja seorang diri. Khalifah
pun tidak wajib meminta pendapat yang lain tentang hukum-hukum syariat yang
akan dilegislasikannya.
Dalilnya
adalah fakta bahwa Rasulullah saw. pernah mengesampingkan pendapat kaum Muslim
yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal, pendapat kaum Muslim
waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Akan tetapi, Rasulullah menolak
pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw.
bersabda kepada mereka:
“إِنِّي
عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُ وَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ”
Sesungguhnya
aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi
perintah-Nya. (HR
al-Bukhari dan Muslim)
Kemudian yang kedua, dalam perkara
yang berhubungan dengan profesi dan ide yang membutuhkan sebuah keahlian,
pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam perkara ini yang dijadikan kriteria
adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan berdasarkan kepada suara mayoritas
atau minoritas.
Masalah yang ada harus
dikembalikan kepada para ahlinya yang memang berkompeten, sebab merekalah yang
dapat memahami permasalahan yang ada dengan baik dan tepat. Misalnya, tentang
masalah kemiliteran maka harus dikembalikan kepada para ahli militer yang
berkompeten. Dalam hal ilmu sains dan medis maka permasalahannya dikembalikan
kepada para ahlinya para dokter spesialis dan para ilmuwan. Tentang masalah
teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik dan masalah-masalah lainnya dikembalikan
kepada para ahlinya.
Hal
ini berdasarkan kepada peristiwa ketika Rasulullah saw mengikuti pendapat Hubab
bin al-Mundzir (yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis)
pada Perang Badar. Saat itu Hubab mengusulkan kepada Nabi saw agar meninggalkan
tempat yang dipilih beliau seandainya ketentuan tempat itu bukan berasal dari
wahyu. Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran.
Rasulullah
saw pun mengikuti pendapat Hubab. Beliau dan para sahabat kemudian berpindah ke
suatu tempat yang ditunjukkan oleh Hubab. Jadi, Rasulullah saw. telah
meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para
shahabat lainnya dalam masalah tersebut. (Lihat:
Kisah Perang Badar ini selengkapnya dalam Sîrah Ibn Hisyâm, II/272; Thabaqât
Ibn Sa‘ad, II/15; Târîkh Ibn Khaldun, II/751; As-Sîrah li Ibn Katsîr,
II/380-402).
Kemudian
yang ketiga, dalam perkara-perkara yang langsung kepada amal atau tindakan dan
tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan
patokan adalah suara mayoritas. Sebab mayoritas orang dapat dengan mudah
memahaminya dan langsung dapat memberikan pendapatnya. Misalnya, apakah kita
akan pergi ke Bandung atau Bogor, apakah akan naik mobil atau kereta, apakah
pergi pagi atau malam.
Semua
perkara-perkara tersebut dapat dijangkau oleh setiap orang sehingga mereka
dapat mengeluarkan pendapatnya. Dalam perkara-perkara ini, suara mayoritas
dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.
Hal
ini berdasarkan peristiwa pada perang Uhud, ketika Rasulullah SAW dan para
sahabat senior berpendapat tidak perlu keluar kota Madinah. Namun sebaliknya,
mayoritas sahabat berpendapat agar kaum muslim keluar kota Madinah untuk
menghadapi kaum Quraisy diluar kota Madinah. Akhirnya ada dua pendapat yang
berbeda dikalangan sahabat, namun karena mayoritas sahabat ingin agar keluar
kota Madinah, akhirnya Rasulullah SAW mengikuti pendapat mereka untuk keluar
kota Madinah dan bertempur melawan kaum Quraisy di luar kota Madinah dengan
mengabaikan pendapat para sahabat senior. (Lihat: Sîrah Ibn Hisyâm, III/67; Thabaqât Ibn
Sa‘ad, II/38; Târîkh Ibn Khaldun, II/765; Zâd al-Ma‘âd, II/62; Fath al-Bârî,
XVII/103).
Sekalipun
Islam dan syura’ mengenal suara mayoritas namun, hal tersebut tidak sama
seperti dalam konsep demokrasi. Telah dijelaskan diatas bahwa Islam telah
memberikan garis tegas antara syura’ (musyawarah) dalam Islam dan syura’
(musyawarah) dalam demokrasi.
Syura’
melahirkan rasa tanggung jawab, jujur, ikhlas, amanah dalam pekerjaan yang
berdasarkan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Sementara demokrasi melahirkan
berbagai macam sifat-sifat tidak terpuji, korupsi, tidak amanah, penipuan,
kediktatoran serta keburukan-keburukan lain.
Jika ada yang menyamakan antara
syura dengan demokrasi maka sesungguhnya ia telah menyamakan antara sekrup dan helikopter.
Hal tersebut tentu tidak tepat, kenapa? Sebab syura’ hanya sebuah mekanisme
pengambilan pendapat dalam Islam, sebagai bagian dari proses sistem
pemerintahan Islam. Sementara demokrasi tidak hanya proses pengambilan pendapat
berdasarkan mayoritas, namun lebih dari itu, demokrasi merupakan sebuah jalan
hidup yang berdasarkan kepada peradaban Barat sebab demokrasi berasal dari
Barat.
Berdasarkan uraian diatas tentang
konsep Islam dalam musyawarah tentu semakin jelas bahwa Islam sangat
bertentangan dengan demokrasi. Menyamakan keduanya tentu tidak bijaksana, sebab
fakta menunjukkan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang rusak.
Sekalipun ada kemiripan antara
syura’ dengan demokrasi (dalam hal pengambilan pendapat). Namun, hal tersebut
tidak menjadikan syura sama dengan demokrasi sebab kedua hal tersebut memang
berbeda bahkan sangat jauh berbeda. Demokrasi selalu menggunakan suara
mayoritas dalam segala bidang permasalahan. Sementara syura’ hanyalah hak ummat
Islam yang dilaksanakan sesama ummat Islam saat sedang bertukar pikiran untuk
mengambil suatu pendapat.
Orang non muslim tidak berhak dan
tidak diperkenankan untuk ikut dalam proses syura’ tersebut sebab syura’ adalah
untuk kemaslahatan ummat Islam. Berbeda dengan demokrasi dimana muslim dan non
muslim bisa duduk bersama bermusyawarah dalam menetapkan suatu pendapat.
Dengan demikian jelaslah perbedaan
antara konsep syura’ dalam Islam dan demokrasi seterang matahari disiang hari,
dan sekontras perbedaan warna putih dan hitam. Dengan uraian diatas, dimanakah letak
persamaan antara syura’ dan demokrasi? Samakah antara yang putih dan hitam?
Wallahu 'Alam
0 komentar:
Posting Komentar