Selasa, 03 Juni 2014 | By: Tuxedo Kamen

Musyawarah dalam Islam VS Musyawarah dalam demokrasi

Banyak para ahli mengatakan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi demokrasi dan bahkan mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat demokratis. Hal ini tentu merupakan ironi, sebab sejarah menyebutkan bahwa Islam dan demokrasi tidak pernah bersinggungan. Demokrasi berasal dari bangsa Yunani kuno pada abad ke empat sebelum masehi, sementara Islam mulai dikenal dunia di jazirah Arab pada tahun 1 hijriyah. Dilihat dari sisi sejarah, jelas tidak berhubungan antara demokrasi dan Islam.

Para ahli itu mengatakan bahwa prinsip-prinsip demokrasi seperti musyawarah sangat sesuai dengan Islam, sehingga mereka mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang sangat demokratis. Hal ini perlu dikritisi sebab ada perbedaan yang sangat jauh antara musyawarah dalam demokrasi dan musyawarah dalam Islam. 


Konsep Islam dalam Musyawarah (Syura’)

Musyawarah atau Syura’ dalam makna bahasa mengandung pengertian, mengeluarkan madu dari sarang lilin (lebah) {Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, jilid II halaman 379-381, pada pasal sya-wa-ra} bisa juga diartikan, menampakkan diri dalam medan perang (isti‘râdh an-nafs fi maydan al-qitâl); dan sebagainya (Al-Khalidi, 1980: 141; Zallum, 2002: 216).
Sementara menurut pengertian syariah yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah syura’ berarti mengambil pendapat (An-Nabhani, 1994: 246). Lebih jelasnya syura’ mengandung pengertian mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra’y[i] min al-mustasyâr) (Zallum, 2002: 216). Istilah lain dari syura adalah masyûrah (An-Nabhani, 2001: 111) atau at-tasyâwur (An-Nabhani, 1994: 246).

Perbedaan mendasar musyawarah dalam Islam dan demokrasi adalah, dalam demokrasi segala hal bisa dimusyawarahkan dan dicarikan jalan tengah (kompromi). Sementara dalam Islam musyawarah hanya bersifat mandub (sunnah) yang dapat diambil oleh seorang khalifah untuk memutuskan sebuah perkara yang tidak terkait dengan hukum-hukum Syariah Islam.

Dalam demokrasi pendapat suara mayoritaslah yang menentukan sebuah keputusan hukum yang wajib dilaksanakan, sementara dalam Islam sekalipun pendapat mayoritas tetapi hal tersebut tidak menjadi sebuah keputusan yang wajib untuk dilaksanakan. Hal ini tercermin dalam perjanjian Hudaibiyah, dimana saat itu mayoritas sahabat Rasul menolak perjanjian tersebut namun Rasulullah SAW mengesampingkan pendapat mayoritas para sahabat tersebut. Beliau tetap menyetujui perjanjian tersebut seraya bersabda,

“إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُ وَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ”

Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya. (HR al-Bukhari dan Muslim. Lihat Fath al-Bari, VI/276; Shahîh Muslim XII/141; Majma‘ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, V/225).

Para sahabat pun menerima keputusan Rasul tersebut tanpa ada keberatan lagi. Dari peristiwa tersebut diatas tentu dapat diambil kesimpulan bahwa Islam tidak mengenal suara mayoritas dalam perkara-perkara wahyu dari Illahi.

Sementara demokrasi menjadikan suara mayoritas sebagai sebuah keputusan yang harus dilaksanakan, sekalipun bertentangan dengan nilai-nilai agama. Beberapa contohnya salah satunya adalah, kenaikan TDL yang telah disahkan per tanggal 1 Juli 2010, setelah melalui beberapa kali sidang dan rapat yang menghabiskan dana yang tidak sedikit akhirnya mayoritas anggota DPR setuju kenaikan TDL kisaran 6-20% untuk pemakaian listrik diatas 900 Kwh.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan Islam yang telah menggariskan bahwa energi listrik seharusnya dikelola oleh negara dan digunakan untuk masyarakat dengan harga yang sangat murah atau bahkan gratis. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, api,  air dan padang rumput” (HR. Abu dawud)

Islam memang menganjurkan untuk bermusyawarah seperti dalam Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 233,

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS.2 : 233)

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang ayat ini mengatakan, “yakni jika kedua orangtua si bayi telah sepakat untuk menyapihnya  sebelum masa dua tahun dan keduanya memandang ada kebaikan dalam hal itu bagi si bayi, dan setelah keduanya bermusyawarah dalam mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Namun keputusan itu tidak boleh hanya berasal dari salah satu pihak saja (ayah atau ibu). Salah satu pihak tidak boleh memaksakan kehendaknya tanpa musyawarah dengan pihak lainnya”.

Dalam perkara ini maka musyawarah dapat dilakukan antara suami isteri dan itu sebaiknya tidak dilakukan secara sepihak. Dalam artian dari pihak suami saja atau isteri saja, melainkan kedua-duanya bermusyawarah dalam hal tersebut. Jika dilakukan hal tersebut tentu lebih baik ketimbang tidak dilakukan.

Dalam Islam seorang Khalifah berhak melakukan musyawarah dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan hukum syara’. Misalnya tentang hal penetapan hudud yaitu hukuman yang datangnya langsung dari Allah SWT. Khalifah tidak boleh melakukan musyawarah dalam hal ini, dengan kata lain, Khalifah harus langsung melakukannya tanpa pandang bulu.

Misalnya ada seorang muslim yang melakukan tindakan zina maka berdasarkan firman Allah dalam QS. An Nuur ayat 2 :

Artinya,
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. 24 : 2)

Dalam hal ini seorang khalifah tidak diperbolehkan melakukan musyawarah dalam hal penetapan hukum tersebut, tetapi seorang khalifah harus langsung melakukan hukuman tersebut kepada mereka yang melakukan perzinaan.

Kemudian, apakah dalam musyawarah harus mengikuti pendapat mayoritas atau tidak? Dalam hal ini Islam memberikan garis tegas yang membedakannya dengan demokrasi. Pertama dalam hal penentuan hukum syariat atau legislasi. Dalam hal ini tidak bergantung kepada suara mayoritas, tetapi berdasarkan kepada apa yang telah diwahyukan oleh Allah. Sebab yang menjadi Pembuat Hukum dalam Islam hanyalah Allah SWT bukan khalifah, ummat atau rakyat.

Sedangkan yang berwenang untuk melakukan proses legislasi adalah seorang khalifah saja seorang diri. Khalifah pun tidak wajib meminta pendapat yang lain tentang hukum-hukum syariat yang akan dilegislasikannya.

Dalilnya adalah fakta bahwa Rasulullah saw. pernah mengesampingkan pendapat kaum Muslim yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal, pendapat kaum Muslim waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Akan tetapi, Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. bersabda kepada mereka:

“إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُ وَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ”

Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Kemudian yang kedua, dalam perkara yang berhubungan dengan profesi dan ide yang membutuhkan sebuah keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam perkara ini yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan berdasarkan kepada suara mayoritas atau minoritas.

Masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang memang berkompeten, sebab merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan baik dan tepat. Misalnya, tentang masalah kemiliteran maka harus dikembalikan kepada para ahli militer yang berkompeten. Dalam hal ilmu sains dan medis maka permasalahannya dikembalikan kepada para ahlinya para dokter spesialis dan para ilmuwan. Tentang masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik  dan masalah-masalah lainnya dikembalikan kepada para ahlinya.

Hal ini berdasarkan kepada peristiwa ketika Rasulullah saw mengikuti pendapat Hubab bin al-Mundzir (yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis) pada Perang Badar. Saat itu Hubab mengusulkan kepada Nabi saw agar meninggalkan tempat yang dipilih beliau seandainya ketentuan tempat itu bukan berasal dari wahyu. Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran.
Rasulullah saw pun mengikuti pendapat Hubab. Beliau dan para sahabat kemudian berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Hubab. Jadi, Rasulullah saw. telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut. (Lihat: Kisah Perang Badar ini selengkapnya dalam Sîrah Ibn Hisyâm, II/272; Thabaqât Ibn Sa‘ad, II/15; Târîkh Ibn Khaldun, II/751; As-Sîrah li Ibn Katsîr, II/380-402).

Kemudian yang ketiga, dalam perkara-perkara yang langsung kepada amal atau tindakan dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan patokan adalah suara mayoritas. Sebab mayoritas orang dapat dengan mudah memahaminya dan langsung dapat memberikan pendapatnya. Misalnya, apakah kita akan pergi ke Bandung atau Bogor, apakah akan naik mobil atau kereta, apakah pergi pagi atau malam.

Semua perkara-perkara tersebut dapat dijangkau oleh setiap orang sehingga mereka dapat mengeluarkan pendapatnya. Dalam perkara-perkara ini, suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.
Hal ini berdasarkan peristiwa pada perang Uhud, ketika Rasulullah SAW dan para sahabat senior berpendapat tidak perlu keluar kota Madinah. Namun sebaliknya, mayoritas sahabat berpendapat agar kaum muslim keluar kota Madinah untuk menghadapi kaum Quraisy diluar kota Madinah. Akhirnya ada dua pendapat yang berbeda dikalangan sahabat, namun karena mayoritas sahabat ingin agar keluar kota Madinah, akhirnya Rasulullah SAW mengikuti pendapat mereka untuk keluar kota Madinah dan bertempur melawan kaum Quraisy di luar kota Madinah dengan mengabaikan pendapat para sahabat senior.  (Lihat: Sîrah Ibn Hisyâm, III/67; Thabaqât Ibn Sa‘ad, II/38; Târîkh Ibn Khaldun, II/765; Zâd al-Ma‘âd, II/62; Fath al-Bârî, XVII/103).

Sekalipun Islam dan syura’ mengenal suara mayoritas namun, hal tersebut tidak sama seperti dalam konsep demokrasi. Telah dijelaskan diatas bahwa Islam telah memberikan garis tegas antara syura’ (musyawarah) dalam Islam dan syura’ (musyawarah) dalam demokrasi.

Syura’ melahirkan rasa tanggung jawab, jujur, ikhlas, amanah dalam pekerjaan yang berdasarkan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Sementara demokrasi melahirkan berbagai macam sifat-sifat tidak terpuji, korupsi, tidak amanah, penipuan, kediktatoran serta keburukan-keburukan lain.

Jika ada yang menyamakan antara syura dengan demokrasi maka sesungguhnya ia telah menyamakan antara sekrup dan helikopter. Hal tersebut tentu tidak tepat, kenapa? Sebab syura’ hanya sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan Islam. Sementara demokrasi tidak hanya proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun lebih dari itu, demokrasi merupakan sebuah jalan hidup yang berdasarkan kepada peradaban Barat sebab demokrasi berasal dari Barat.

Berdasarkan uraian diatas tentang konsep Islam dalam musyawarah tentu semakin jelas bahwa Islam sangat bertentangan dengan demokrasi. Menyamakan keduanya tentu tidak bijaksana, sebab fakta menunjukkan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang rusak.

Sekalipun ada kemiripan antara syura’ dengan demokrasi (dalam hal pengambilan pendapat). Namun, hal tersebut tidak menjadikan syura sama dengan demokrasi sebab kedua hal tersebut memang berbeda bahkan sangat jauh berbeda. Demokrasi selalu menggunakan suara mayoritas dalam segala bidang permasalahan. Sementara syura’ hanyalah hak ummat Islam yang dilaksanakan sesama ummat Islam saat sedang bertukar pikiran untuk mengambil suatu pendapat.

Orang non muslim tidak berhak dan tidak diperkenankan untuk ikut dalam proses syura’ tersebut sebab syura’ adalah untuk kemaslahatan ummat Islam. Berbeda dengan demokrasi dimana muslim dan non muslim bisa duduk bersama bermusyawarah dalam menetapkan suatu pendapat.

Dengan demikian jelaslah perbedaan antara konsep syura’ dalam Islam dan demokrasi seterang matahari disiang hari, dan sekontras perbedaan warna putih dan hitam. Dengan uraian diatas, dimanakah letak persamaan antara syura’ dan demokrasi? Samakah antara yang putih dan hitam?

Wallahu 'Alam

0 komentar:

Posting Komentar