Selasa, 24 Maret 2015 | By: Tuxedo Kamen

MANUSIA SYETAN ATAU SYETAN MANUSIA ?

Kata Syaithoon, / " setan "  ada dua pengertian :

Pengertian pertama :

Makna Lafadz " Sya-i-tho-nun"  secara gramatika,; dengan nun ashliyah pada wazan fa-i-'aa-lun ( yang akar katanya: sya-tho-na) maknanya adalah  = al-ba'iid, = " jauh "
Pengertian ke dua :

Kata:  sya-i-tho-nun dengan ya'   ashliyah sementara nun-nya nun- zaidah, pada wazan fa'-laa-nun  ( yang akar kata-nya : syaa-tho (tanpa nun), -  yasyiithu, -  maka maknanya adalah ihtaroqo = " terbakar – membakar – karena api itu bersifat membakar.
Minggu, 22 Maret 2015 | By: Tuxedo Kamen

Pembuktian Iman Berdasarkan Akal

Akal merupakan potensi yang telah diberikan oleh sang Pencipta sebagai modal dalam mengarungi kehidupan ini. Semua manusia diberikan akal ini untuk memahami dan mencerna segala macam persoalan atau masalah yang ada dalam kehidupan. Begitu pun dalam proses keimanan, penggunaan akal sebagai pijakan dalam memahami eksistensi sang Maha Pencipta menjadi sesuatu yang perlu. Sebab eksistensi Pencipta tak dapat diraba dengan menggunakan perasaan saja. Sebagian besar jumhur ulama berpendapat bahwa dalam beriman harus menggunakan akal dan pemikiran yang mendalam, hal ini untuk menghindari adanya taqlid dalam beriman kepada Tuhan.
Jumat, 06 Maret 2015 | By: Tuxedo Kamen

Perubahan Mendasar Pemikiran Sayyid Qutb; Dari Al Aqqad, Hasan Al Banna, hingga Taqiyudin An-Nabhani




oleh Hafidz Abdurahman M.A

Untuk  membaca,  apalagi  melacak,  pemikiran Sayyid  Qutub  (1906-1966),  seperti  kata  penulis  buku  ini, diperlukan  kejelian  dan  kecermatan.  Karena  itu,  ketika menulis pengantar  ini,  saya  berusaha  mengumpulkan referensi  sebanyak-banyaknya  tentang  Sayyid  Qutub  dan pemikirannya,  agar  saya  bisa  bersikap  amanah,  setidak-tidaknya  untuk menjawab  pertanyaan  besar  yang  belum dijawab  dalam  buku  Perubahan  Mendasar  Pemikiran Sayyid  Qutub  ini.

NU, RESOLUSI JIHAD dan KEMERDEKAAN INDONESIA


 
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepaskan dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Yang menarik, berdasarkan laporan pemerintah Belanda sendiri, bahwa peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.

Ironis, sejarah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah, tidak mengenalkan peran “Resolusi Jihad” yang dikomandoi oleh KH. Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa “wajib” bagi setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekaan.