oleh Hafidz Abdurahman M.A
Untuk membaca, apalagi melacak, pemikiran Sayyid Qutub
(1906-1966), seperti kata penulis buku ini, diperlukan kejelian
dan kecermatan. Karena itu, ketika menulis pengantar ini, saya berusaha mengumpulkan referensi
sebanyak-banyaknya tentang Sayyid Qutub dan pemikirannya, agar
saya bisa bersikap amanah, setidak-tidaknya untuk menjawab pertanyaan besar yang belum dijawab
dalam buku Perubahan Mendasar Pemikiran Sayyid Qutub ini.
Pertanyaan-pertanyaan yang justru menjadi kunci pembahasan
buku ini. Antara lain: Apa yang dimaksud “Perubahan Mendasar”
dalam pemikiran Sayyid Qutub? Benarkah Sayyid Qutub mengalami
”perubahan mendasar” dalam pemikirannya? Jika benar, dimanakah letak
perubahan pemikiran yang mendasar itu terjadi? Siapakah yang
banyak mewarnai perubahan mendasar dalam pemikiran Sayyid
Qutub? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin saya jelaskan
dalam pengantar ini.
Buku ini dikumpulkan dan artikel yang ditulis secara berseri
dalam majalah al-Wa’ie. Dengan judul at-Taghyir aI-Judzuri fi
aI-Fikr al-Syahid Sayyid Qutub (Perubahan Mendasar Pemikiran
as-Syahid Sayyid Qutub), setidak-tidaknya mempunyai dua asumsi.
Dalam bahasa Arab: at-Taghyir al-Judzuri fi al-Fikr bisa
diasumsikan:
Pertama, “konsep tentang perubahan mendasar dalam pemikiran.”
Dan mungkin inilah yang dimaksudkan oleh penulis, sebagaimana
yang terlihat dalam petikan-petikan pandangan Sayyid Qutub yang
dituangkan dalam tulisannya. Asumsi ini didasarkan kepada sikap
penulis untuk tidak menyinggung sedikit pun tentang apa maksud
“perubahan mendasar” yang di-highlight dalam tulisannya. Karena
seluruh wacana pemikiran yang dituangkan dalam buku ini sudah
menjawab maksud “perubahan mendasar”, yang lebih kepada konsep
“perubahan mendasar” dalam pemikiran Sayyid Qutub. Tetapi, mungkin saja
asumsi ini tidak betul. Sebab, ada faktor lain yang boleh jadi
mempengaruhi penulis untuk tidak melakukan beberapa catatan di
atas, antara lain, karena tulisan ini bukan merupakan “tulisan
ilmiah” yang sengaja disusun untuk menjadi sebuah buku, tetapi
merupakan “tulisan ilmiah” yang ditulis untuk konsumsi majalah.
Kedua, “perubahan mendasar dalam pemikiran…” sebagaimana judul
terjemahan buku ini. Makna yang tidak merujuk kepada “konsep”
atau “pemikiran” tentang “perubahan mendasar’ tetapi lebih kepada
terjadinya perubahan mendasar dalam pemikiran Sayyid Qutub. Asumsi
ini juga dapat diterima, sekalipun penulis —karena pertimbangan
tertentu— dalam pengantarnya tidak memberikan ulasan tentang
maksud ini.
Asumsi ini dibenarkan, karena biasanya untuk merujuk kepada
“konsep” atau “pemikiran” tentang “perubahan mendasar” dalam bahasa
Arab digunakan ”at- Taghyir al-Judzuri fi al-Nadhri” (konsep
“Perubahan Mendasar” dalam pandangan). Karena itu, berdasarkan
perspektif kebahasaan, asumsi yang kedua ini lebih tepat. Cuma
persoalannya, jika asumsi kedua yang dianggap Iebih tepat, buku
ini secara keseluruhan tidak menguraikan ciri-ciri “perubahan
mendasar” dalam pemikiran Sayyid, setidaknya dengan comparatively
method, antara pemikiran beliau sebelum dan setelah berubah.
Sekalipun demikian, tidak berarti buku ini tidak layak untuk
mengurai “perubahan mendasar” pemikiran Sayyid Qutub. Paling
tidak, buku ini telah membuka mata kita melalui symptom-symptom yang
diurai di dalamnya, setidaknya untuk mendiagnosis hakikat
“perubahan mendasar” tersebut. Hanya penelitian lebih mendalam
terhadap hakikat “perubahan mendasar” ini masih perlu dilakukan.
Karena itu, saya memberanikan diri memberikan pengantar buku
ini dengan maksud untuk memecah kekaburan tersebut.
Dilahirkan di Qaryah, wilayah Asyuth, tahun 1906, sepuluh tahun
kemudian, Sayyid Qutub telah hafal aI-Qur’an. Dari Qaryah,
beliau melanjutkan studi ke Kairo, tepatnya di Dar al-’Ulum
hingga lulus. Sekitar tahun 1926, pada usia 20 tahun, beliau
belajar sastra kepada Abbas Mahmud al-’Aqqad, penulis buku
ad-Dimuqrathiyyah fi al-Islam. Tokoh ini mempunyai pengaruh besar
terhadap Sayyid Qutub. Kurang lebih 25 tahun, Sayyid Qutub
bersamanya, dan karena pengaruh al-’Aqqad-lah, beliau terlibat
dengan kehidupan politik yang pertama. Dalam rentang inilah,
beliau menjadi anggota Partai al-Wafd. Pada akhirnya beliau keluar,
dan bergabung dengan Partai al-Haihah al-Sa’adiyyah, pecahan
Partai al-Wafd, tetapi hanya bertahan dua tahun. Setelah itu,
beliau tidak terlibat dengan partai manapun.
Al-’Aqqad juga orang yang berjasa mengangkat kepopuleran
Sayyid Qutub, dengan peluang menulis gagasan-gagasannya dalam
harian partainya. Beliau akhirnya populer sebagal murid aI-’Aqqad.
Tetapi, sejak tahun 1946, setelah menulis buku at-Tashwir
al-Fanni fi al-Qur’an, beliau mulai sedikit demi sedikit
menjauhkan diri dan al-’Aqqad.
Selama 25 tahun, antara tahun 1926-1950, Sayyid Qutub belum
menggeluti pemikiran Islam, khususnya ketika bersama al-’Aqqad.
Inilah pengaruh negatif al-’Aqqad pada diri Sayyid. Gambaran
ini dapat dilacak dalam tulisan-tulisan beliau seperti yang
pernah dipublikasikan oleh majalah al-Risalah (1934-1952),
disamping buku-buku beliau yang dicetak pada rentang masa
tersebut. Tulisan beliau yang dipublikasi dalam rentang waktu
tersebut berkisar soal sastra, seperti bait-bait syair dan beberapa
makalah sosial (1933- 1937), konflik terbuka melawan al-Rafi’i
membela al‘Aqqad (1938), kritik nyanyian yang diselingi dengan
beberapa bait syair dan makalah sosial (1940-1941), kritik
terbuka kepada Dr. Muhammad Mandur tentang seni retorika (1943),
kritik dan penjelasan tentang aliran seni sebagai aliran
al-’Aqqad (1944), kritik dan medan konflik terbuka dengan Shalah
Dzihni tentang kisah dan kisah-kisah Mahmud Taimur (1944 dan
awal 1945), serta uraian tentang krisis di tanah air, peristiwa
politik dan problem sosial dengan beberapa makalah yang
berbentuk kritik (1945-1947).
Disamping itu, gambaran di atas juga dapat dilacak dalam buku-buku
beliau yang diterbitkan dalam rentang waktu tersebut. Antara
lain: Muhimmah as-Sya‘ir fi al-
Hayah wa Syi’r al-Jail al-Hadhir (1933). Ini merupakan buku
beliau yang pertama diterbitkan. Di dalamnya beliau menguraikan
kedudukan seorang penyair dalam kehidupan, dan syair di antara
seni-seni keindahan yang ada, kemudian tentang siapa yang
disebut penyair, disamping tentang kepribadian penyair dan
pengaruh lingkungannya. As-Syathi’al-Majhul (1935). Buku ini berisi
kumpulan bait syair yang diterbitkan pertama dan terakhir kali.
Dalam pengantarnya, beliau mengatakan, bahwa buku ini berisi
teori ilmiah dan filosofis, ketika seorang penyair beninteraksi
dengan “dunia fantasi”. Naqd Kitab Mustaqbal al-Tsaqafah fi
Mishr (1939). Ini berisi bantahan terhadap Taha Husein. Tulisan ini
asalnya dimuat dalam buletin Dar al-‘Ulum, yang kemudian diadopsi
oleh koran aI-Ikhwan al-Muslimin, ketika Sayyid Qutub belum
menjadi anggota jamaah ini.
Sekalipun berisi bantahan, tetapi beliau tidak menolak
seratus persen pemikiran Taha Husein. Buku ini juga tidak
memberikan bantahan dalam perspektif Islam, tetapi lebih
berdasarkan perspektif edukatif. At-Tashwir al-Fanni fi
aI-Qur’an (1945). Ini dianggap sebagai buku keislaman yang
pertama. Al-Athyaf al-Arba’ah (1945). Buku ini ditulis bereempat
dengan saudaranya untuk mengenang kepergian ibunya. Thiflun
min al-Qariyah (1946). Sayyid Qutub menghadiahkannya untuk Taha
Hussein, penulis buku al-Ayyam, yang sangat beliau kagumi.
Al-Madinah a!-Mashurah (1946). Buku ini berisi kisah fantasi.
Kutub wa Syakhshiyyah (1946). Karya ini ditujukan kepada para
sastrawan, penyair dan pengkaji yang aktivitas sastranya beliau
kritik. Asywak (1947). Ini merupakan karya di bidang roman
percintaan. Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur’an (1948). Berisi
pemandangan kiamat, dan menguraikan seratus lima puluh
pemandangan, yang terbagi dalam delapan puluh surat. An-Naqd
al-Adabi Ushuluhu wa Manahijuhu (1948). Buku ini berisi kritik
sastra, dasar dan metodenya. Al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi
a/-Islam (1949). Ini dikatakan sebagai buku pemikiran Islam
beliau yang pertama kali diterbitkan. Buku ini ditulis ketika
pengaruh Sosialisme begitu kuat di Mesir, dengan meminjam trade
mark “keadilan sosial” Sosialisme, sekalipun beliau coba
uraikan dengan paradigma keislaman beliau. Buku yang
disebutkan terakhir ini ditulis sebelum beliau berangkat ke
Amerika, dan sebelum bergabung dengan aI-Ikhwan.
Sebagaimana penuturannya kepada an-Nadawi, setelah beliau
melalui fase keraguan terhadap hakikat keagamaan hingga pada batas
yang sangat jauh, akhirnya beliau kembali kepada al-Qur’an untuk
mengobati kegalauannya. Perubahan ini terjadi sejak sekitar
tahun 1945, setelah beliau menulis at-Tashwir al-Fanni fi
al-Qur’an (1945), Masyahid aI-Qiyamah fi aI-Qur’an (1948) dan
al-’Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam (1949). Ketika di
Amerika, tahun 1949, beliau menyaksikan Hassan al-Bana,
pendiri aI-Ikhwan dibunuh. Dari sini, Sayyid mulai simpati
dengan jamaah ini. Setelah kembali ke Mesir, beliau mengkaji
sosok Hassan al-Bana, seperti dalam pengakuannya:
“Saya telah membaca semua risalah al-Imam as-Syahid. Saya
mendalami perjalanan hidup beliau yang bersih dan
tujuan-tujuannya yang haq. Dari sini saya tahu, mengapa beliau
dimusuhi? Mengapa beliau dibunuh? Karena itu, saya benjanji
kepada Allah untuk memikul amanah ini sepeninggal beliau, dan
akan melanjutkan perjalanan ini seperti yang beliau lalui,
ketika beliau bertemu dengan Allah”4
Pada tahun 1951, ketika berusia 45 tahun, beliau bergabung
dengan al-Ikhwan. Pada saat inilah, Sayyid menganggap dirinya
baru dilahirkan, setelah dua puluh lima tahun umurnya
dihabiskan dengan al-’Aqqad. Sejak masuk jamaah ini hingga
meninggal dunia, beliau hanya sempat hidup selama 15 tahun,
hingga dijatuhi hukuman mati oleh regim Nasser, kawan beliau
dalam merancang Revolusi Juli tahun 1952, setahun setelah
bergabung dengan al-Ikhwan. Dalam jamaah ini, sekalipun beliau
tidak pernah menjabat sebagai pemimpin al-Ikhwan, seperti
al-Bana, tetapi beliau dinobatkan sebagai pemikir nomer dua setelah
al-Bana.
Perubahan Sayyid nampak terutama setelah bergabung dengan
Al-Ikhwan, sekalipun ini bukan fase akhir perubahan pemikiran
beliau. Perubahan ini nampak misalnya dalam buku beliau, antara
lain: Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’simaliyyah (1951). Buku yang
menekankan, bahwa hanya Islam-lah satu-satunya solusi yang mampu
menyelesaikan semua krisis sosial yang terjadi. As-Salam
al-Alami wa al-Islam (1951). Ini mengurai kegoncangan dunia dan
perdamaian yang dapat diwujudkan oleh Islam. Fi DhilaI aI-Qur’an
juz I (1952). Karya monumental beliau setelah kembali kepada
al-Qur’an. Dirasat Islamiyyah (1950-1953). Buku ini berisi tiga
puluh enam makalah. Hadza ad-Din (1953). Buku yang
mencerminkan fase baru pemikiran Islam beliau. Kemudian secara
berurutan, dalam rentang antara tahun 1953-1966, keluar buku
beliau, seperti: al-Mustaqbal Iihadza ad-Din, Khashaish
at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatuh, al-Islam wa Musykilat
aI-Hadharah dan Ma’alim fi at-Thariq.
Bahwa perubahan pemikiran Sayyid Qutub setelah bergabung dengan
al-Ikhwan bukan merupakan fase akhir perubahan mendasar dalam
pemikirannya, nampak setelah pemikiran beliau dilacak dengan teliti
dan cermat melalui buku-bukunya. Karena itu, seperti yang
diungkapkan oleh Shalah al-Khalidi (1981), ketika buku beliau
yang pertama diterbitkan, at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an
(1945), mereka yang arif mengatakan: “Inilah kitab Sayyid
Qutub.” Ketika buku al-’Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam
(1949) terbit, mereka mengatakan: “Bukan itu. Inilah kitab
Sayyid Qutub.”
Ketika buku Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatuh
terbit, mereka mengatakan: “Bukan itu, tapi ini.” Ketika Fi
Dhilal al-Qur’an juz I (1952) terbit, mereka mengatakan:
“Inilah buku beliau.” Dan begitu buku Ma’alim fi at-Thariq
terbit, mereka mengatakan: “Inilah kitab Sayyid Qutub yang
sesungguhnya.” Karena
itu, “Saya yakin, kalaulah Allah menakdirkan terbitnya
buku-buku gerakan keislaman beliau yang lain setelah Ma’alim,
pasti akan menutup apa yang ditulis sebelumnya.” demikian
ungkap Shalah al-Khalidi, ketika menggambarkan perubahan demi
perubahan dalam pemikiran sang syahid ini.
Inilah “perubahan mendasar” yang terjadi dalam pemikiran
tokoh syahid ini. Boleh jadi karena faktor keikhlasannya,
beliau akhirnya dapat meraih kedudukan agung ini. Keikhlasan
ini nampak ketika beliau mampu mengumumkan, bahwa dirinya telah
melepaskan diri dari pemikiran-pemikiran beliau sebelumnya,
setelah beliau mengadopsi pemikirannya yang baru. Sesuatu yang
biasanya sulit dilakukan oleh orang yang mempunyai popularitas
seperti beliau. Keikhlasan beliau juga nampak ketika pada tahun
1953 berkunjung ke al-Quds, dan bertemu dengan as-Syeikh
Taqiyuddin an-Nabhani. Dalam pertemuan ini, beliau melakukan
dialog pemikiran dengannya, yang pada akhirnya beliau mendukung
gagasan an-Nabhani dan partainya. Sikap yang jarang ditemukan
pada mereka yang menisbatkan gerakannya kepada beliau. Laporan
yang menyatakan dukungan beliau ini, sangat susah ditemukan dalam
tulisan mereka yang menisbatkan gerakannya kepada Sayyid
Qutub. Apa lagi
untuk mendapat laporan, bahwa sedikit banyak beliau juga
telah menyerap pandangan-pandangan tokoh yang disebutkan terakhir
ini.
Tentang masalah yang terakhir ini, sekalipun masih terlalu
prematur untuk dibuktikan, namun setidaknya symptom-nya dapat
ditemukan ketika melacak wacana pemikiran Sayyid Qutub dalam buku
ini. Pemakaian istilah al-wa’yu, isti’naf al-hayah aI-Islamiyyah
(melanjutkan kehidupan Islam), serta seruan beliau untuk
membangkitkan umat melalul tegaknya Khilafah Islam, dan
sebagainya dapat dianggap sebagai symptom penyerapan beliau
terhadap pandangan-pandangan ulama ini. Karena term-term —selain
gagasan yang terakhir— ini merupakan term dan gagasan yang
secara konsisten diperjuangkan oleh ulama ini, sejak pertama
kali mendirikan partainya, tahun 1953. Sedangkan sejauh mana
pengaruh pandangan tokoh ini terhadap Sayyid
Qutub, apa hanya sekedar intifa‘ (istilahnya dimanfaatkan)
ataukah benar-benar ta’atstsur (terpengaruh). Sekali lagi untuk
menjawab masalah ini perlu penelitian yang lebih akurat.
Akhirnya, apapun tentang Sayyid Qutub rahimahullah, beliau
adalah as-Syahid yang tetap hidup di tengah kita. Pemikirannya
masih menyinarkan harapan untuk menyembuhkan kondisi umat, yang
masih belum sadar, dan ketika banyak orang sudah tidak lagi
mempunyai harapan terhadap kehidupan mereka. Dan buku ini,
merupakan uraian terbaik dalam memahami mainframe gerakan
Sayyid Qutub yang banyak dilupakan oleh para pengikutnya.
WaIlahua’lam bi as-Shawab.
0 komentar:
Posting Komentar