Akal merupakan potensi yang telah diberikan oleh sang
Pencipta sebagai modal dalam mengarungi kehidupan ini. Semua manusia diberikan
akal ini untuk memahami dan mencerna segala macam persoalan atau masalah yang
ada dalam kehidupan. Begitu pun dalam proses keimanan, penggunaan akal sebagai
pijakan dalam memahami eksistensi sang Maha Pencipta menjadi sesuatu yang
perlu. Sebab eksistensi Pencipta tak dapat diraba dengan menggunakan perasaan
saja. Sebagian besar jumhur ulama
berpendapat bahwa dalam beriman harus menggunakan akal dan pemikiran yang
mendalam, hal ini untuk menghindari adanya taqlid
dalam beriman kepada Tuhan.
Mungkin ada sebagian yang bertanya, “apakah mungkin akal yang terbatas ini bisa memecahkan masalah besar ini?”
Beberapa poin dibawah ini akan menjelaskan tentang kemampuan akal dalam
membuktikan eksistensi Tuhan, serta proses pencarian Tuhan secara logis.
Pembuktian adanya Tuhan
Keberadaan atau eksistensi pencipta telah menjadi sesuatu
yang sangat menarik untuk diperbincangkan, sebab hal tersebut merupakan hal
mendasar yang menjadi fitrah manusia. Adanya fitrah ini telah menuntun manusia
dalam proses pencarian sesuatu yang memiliki kekuatan yang lebih. Telah menjadi
fitrah manusia pula bahwa manusia selalu membutuhkan keberadaan manusia lain.
Sebab manusia tidak mungkin bisa hidup sendiri. Oleh karenanya manusia disebut
sebagai makhluk sosial. Hal yang sama juga berlaku saat manusia merasa dalam
kesulitan, mereka akan mencari sesuatu yang dapat menolongnya agar terlepas
dari kesulitan tersebut.
Pada zaman dahulu, saat manusia melihat gejala alam
seperti petir, secara fitrah mereka sadar bahwa ada kekuatan yang lebih dari
mereka. Selain itu, mereka merasa bahwa keberadaan mereka di bumi ini sangat
lemah serta bergantung kepada sesuatu yang besar dan dianggap memiliki kekuatan
yang lebih dari mereka. Saat hujan turun deras dan petir menyambar keras
memekakan telinga, mereka mencari tempat perlindungan di dalam gua. Mereka
berpikir dengan berlindung di dalam gua akan menyelamatkan mereka dari petir.
Dalam keadaan seperti itu mereka mulai mencari siapa
pemilik kekuatan itu. Saat mereka melihat matahari terang disiang hari, mereka
menganggap matahari itulah yang memberikan kehidupan, sebab mereka sadar bahwa
tanpa matahari mereka akan diliputi kegelapan.
Hal-hal seperti itulah yang telah mendorong manusia untuk
mensucikan sesuatu yang mereka anggap memiliki kekuatan yang lebih. Keinginan
untuk mensucikan itulah yang kemudian disebut gharizah at tadayyun (naluri mensucikan sesuatu/beragama). Dari
gharizah ini kemudian timbul bentuk penyembahan kepada api, petir, matahari,
pohon besar, gunung dan sebagainya. Berbagai macam aliran kepercayaan seperti
animisme, dinamisme, monotheisme timbul sebagai akibat dari gharizah tersebut.
Semua manusia memiliki gharizah tersebut, sekalipun untuk seorang komunis yang tidak
mengakui keberadaan Tuhan. Sebagai contoh, seorang komunis yang sedang
timbul-tenggelam di laut lepas pada malam hari, ia melihat sekelilingnya gelap
gulita. Sementara ia berada dalam kebingungan dan panik. Secara naluri pasti
dia akan mencari sesuatu yang bisa menyelamatkan dirinya. Artinya apa? Dia
mencari sesuatu yang memiliki kekuatan yang lebih dari dirinya untuk
menolongnya. Manusia tidak bisa melawan fitrahnya itu.
Disadari atau tidak, kebutuhan manusia akan Tuhan akan
semakin terasa. Terlebih saat manusia itu merasa tidak berdaya. Sebab, disaat
itulah manusia benar-benar sadar bahwa dirinya bukanlah makhluk yang dapat
melakukan segala hal. Disaat ketidak-berdayaan atas segala hal, manusia akan
merintih dan meminta pertolongan. Saat itulah naluri untuk mekultuskan atau
mengagungkan sesuatu naik dan membutuhkan penyaluran. Maka terjadilah
penyembahan kepada sesuatu yang dianggap lebih oleh manusia itu. Entah
matahari, api, petir dan sebagainya.
Dari proses penyembahan itulah manusia mulai percaya
adanya Tuhan yang memiliki kekuatan lebih dari mereka. Pertanyaan berikutnya
adalah, bagaimana membuktikan keberadaan Tuhan secara pasti dan logis? Seorang
Arab Badui pernah ditanya, “Bagaimana kamu membuktikan adanya Tuhan?” lalu ia
menjawab, “Adanya kotoran unta menunjukkan adanya unta itu”. Sangat sederhana
sekali, dengan memperhatikan segala sesuatu yang ada di alam ini telah
membuktikan keberadaan Tuhan.
Segala keajaiban yang ada di alam ini juga telah
meruntuhkan teori evolusi Darwin yang mengatakan bahwa semua terjadi secara
kebetulan. Paham ini jelas sangat mustahil. Sebagai contoh, semut yang berjalan
beriringan selalu berada dalam barisan yang teratur dan tidak pernah menyimpang
dari barisannya. Jika semut itu tercipta karena sebuah kebetulan belaka, tentu
tidaklah mungkin mereka bisa “antri” sebab tidak ada yang mengajari mereka ilmu
baris berbaris. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, siapakah yang mengilhami
para semut itu untuk berbaris? Selain itu, jika diperhatikan secara seksama
ternyata semut memiliki rasa kepedulian yang sangat tinggi terhadap temannya.
Dalam bukunya ”Selamat Datang di Dunia Semut” Harun Yahya
dengan bahasa yang unik menjelaskan bahwa semut memiliki kerajaan sendiri yang
tiap anggotanya sangat peduli dengan rekannya yang lain. Sebagai contoh, dalam
kerajaan semut ada yang disebut dengan semut penjaga. Semut ini memiliki ukuran
kepala yang besarnya sama dengan lubang tempat masuk kerajaan. Semut ini
bertugas menjaga pintu masuk kerajaan dan menyeleksi tiap semut yang akan masuk
ke dalam. Cara yang dilakukan pun sangat unik, yaitu dengan cara menyentuh
tubuh semut yang akan masuk ke dalam dengan menggunakan antena yang ada di
bagian kepalanya.
Jika tidak termasuk ke dalam anggota kerajaan maka semut
itu dilarang masuk ke dalam. Jika semut tersebut ingin memaksa masuk, maka
semut penjaga tidak segan-segan untuk mengusirnya dengan ”kekerasan”. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga keamanan kerajaan koloni mereka. Jika dikaitkan
dengan teori evolusi yang menyebutkan semua terjadi secara kebetulan tentu
sangat tidak masuk akal seekor semut bisa melakukan hal sedemikian rupa dan
bertindak sebagaimana layaknya seorang punggawa istana.
Sebuah contoh lain adalah, terjadinya manusia. Bagaimana
mungkin dari setetes air mani yang tumpah ke dalam rahim seorang wanita bisa
menjadi sesosok makhluk yang indah, jika manusia terjadi secara kebetulan?
Siapa yang memberikan petunjuk jalan kepada sperma untuk mencapai sel telur di
rahim? Siapa yang memberikan kekuatan kepada satu sel sperma dari berjuta-juta
sel sperma lain yang berjuang untuk membuahi sel telur? Fakta tersebut semakin
meneguhkan keberadaan Tuhan yang Maha Pencipta. Akal manusia yang sehat tentu
menolak paham yang menyatakan semua terjadi secara kebetulan.
Fenomena yang terjadi di alam semesta juga membuktikan
dengan jelas keberadaan Tuhan. Jika manusia memperhatikan bagaimana planet
berjalan secara teratur digaris edarnya masing-masing. Sangat teratur dan tidak
ada yang melenceng dari jalurnya. Perputaran bumi mengelilingi matahari yang
mengakibatkan terjadinya siang dan malam juga sangat teratur. Akal manusia
tentu akan terkagum menyaksikan keteraturan tersebut, sebab alam tidak memiliki
akal untuk berpikir. Seandainya alam memiliki akal untuk berpikir tentu tidak
mengherankan mereka bisa teratur. Fakta ini sangat membuktikan bahwa alam tidak
terjadi secara kebetulan.
Dengan adanya segala keajaiban yang terdapat di alam
semesta ini, telah membuktikan bahwa semuanya tidak terjadi secara kebetulan.
Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini telah membuktikan secara pasti
bahwa ada kekuatan yang menciptakannya. Ada baiknya, sekali waktu kita pandangi
langit malam yang cerah. Bintang dan bulan yang terang bersinar indah. Apakah
segala keindahan dan keteraturan alam semesta itu merupakan sesuatu yang
terjadi secara kebetulan? Banyak sekali contoh dan keajaiban yang terdapat di
alam yang membuktikan semua tidak terjadi secara kebetulan.
Ketika seseorang ingin menggapai eksistensi Tuhan maka ia
harus berpikir tentang ciptaan-Nya. Sebab eksistensi Tuhan tidak dapat dicapai
tanpa melihat dan memperhatikan ciptaan-Nya. Peran akal dalam berpikir dan
memahami eksistensi Tuhan sangat diperlukan. Sebab jika eksistensi Tuhan
dicapai hanya dengan perasaan saja, tentu akan terjadi kekeliruan dalam
menyembah Tuhan itu sendiri. Hal inilah yang terjadi dizaman para Nabi dan
Rasul, sebab mereka hanya menggunakan perasaan saja tanpa menggunakan akal
mereka.
Penyembahan mereka kepada berhala dan roh-roh leluhur adalah bukti bahwa mereka
tidak menggunakan akal mereka untuk beriman, namun mereka hanya menggunakan
perasaan mereka saja.
Mungkin ada yang bertanya, ”mengapa perasaan tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar untuk beriman
kepada Tuhan?” Hal ini dikarenakan perasaan mempunyai sifat selalu
menambah-nambahkan dan berubah-rubah. Selain itu perasaan merupakan gabungan dari emosi yang penuh dengan
imajinasi, prasangka-prasangka dan keragu-raguan. Hal inilah yang menyebabkan
perasaan tidak boleh dijadikan dasar dalam beriman kepada Tuhan. Sebagai
contoh, ada paham yang meyakini bahwa melalui ruh orang yang sudah meninggal
dapat menyampaikan doa seseorang kepada Tuhan. Mereka mengira bahwa orang yang
sudah tiada itu lebih dekat kepada Tuhan, yang mengakibatkan mereka memberikan
sesajen dan membawa makanan ke kuburan dengan harapan orang yang sudah
meninggal itu dapat memakannya dan menyampaikan doa orang yang memberi tersebut
kepada Tuhan. Hal ini tentu sangat ironis sekali, terlebih dizaman modern saat
ini. Oleh sebab itulah, perasaan tidak dapat dijadikan satu-satunya dasar dalam
beriman kepada Tuhan.
Eksistensi Tuhan tidak bisa dicerna hanya dengan
menggunakan perasaan saja. Adapun cara berpikir yang sebaiknya dilakukan oleh
seorang yang ingin menggapai eksistensi Tuhan bisa dilakukan dengan banyak
cara. Salah satunya adalah dengan cara memperhatikan alam sekitar dan segala
sesuatu yang berkaitan dengannya. Sebagai contoh, saat melihat bulan yang
terang di malam hari tentu akan terlintas dalam benak pikiran tentang keindahan
bulan itu. Cahayanya yang lembut seolah memberikan ketenangan bagi yang
memandangnya.
Tentu sangat logis bulan muncul dimalam hari, sebab
cahayanya yang lembut itu memberikan ketenangan saat beristirahat. Contoh
lainnya adalah, perputaran planet yang mengelilingi matahari. Planet-planet
tersebut berputar secara teratur tanpa melenceng dari garis edarnya, seolah
semuanya telah mendapat perintah untuk berjalan sesuai di jalurnya
masing-masing. Jika dipikirkan secara mendalam tentu semua itu tak mungkin
terjadi secara kebetulan dan pasti ada kekuatan yang memerintahkan mereka untuk
berjalan seperti itu.
Setelah terbukti bahwa dengan memperhatikan alam sekitar
Tuhan itu ada, proses selanjutnya adalah berpikir lebih mendalam. Apakah Tuhan
itu banyak? Atau satu? Apakah Tuhan mampu menciptakan diri-Nya sendiri? Apakah
Tuhan itu berkeluarga seperti halnya manusia? Apakah Tuhan itu gabungan dari
beberapa Tuhan lain? Apakah Tuhan butuh perantara? Mengapa Dia layak disebut
Tuhan? Pertanyaan tersebut mungkin akan muncul, saat mencari eksistensi Tuhan.
Sebelumnya perlu dipahami bahwa, potensi manusia yang
berupa akal hanya mampu menjangkau tiga unsur yaitu, manusia, alam semesta, dan
hidup. Ketiga unsur tersebut memiliki sifat lemah, terbatas, kurang dan saling
membutuhkan. Manusia contohnya, ia memiliki sifat terbatas dan suatu saat akan
hilang dan digantikan dengan manusia lainnya. Hal ini membuktikan bahwa manusia
bersifat tidak abadi. Sama halnya dengan hidup. Jika diperhatikan hidup akan
berakhir pada satu individu saja, hal tersebut membuktikan bahwa hidup juga
bersifat terbatas. Sebagai contoh, jika diperhatikan saat manusia lahir berarti
ia telah memiliki hidup dan hidup itu akan ia miliki sampai batas waktu tertentu.
Seiring dengan berjalannya waktu, manusia akan tumbuh dari bayi, anak-anak,
remaja, dewasa dan tua yang kemudian ia akan meninggal. Hal ini membuktikan
bahwa hidup selalu berakhir dan bersifat terbatas. Hal yang sama berlaku pada
segala sesuatu yang memiliki hidup.
Demikian pula dengan alam. Alam semesta merupakan
kumpulan dari benda-benda terbatas seperti planet, matahari, bintang, bulan.
Oleh sebab alam merupakan kumpulan dari benda-benda terbatas, maka alam juga
bersifat terbatas. Sebagai contoh, materi-materi yang terdapat pada alam
memiliki batas waktu tertentu sekalipun ia tidak memiliki hidup. Matahari
merupakan contoh yang paling nyata. Matahari terdiri dari kumpulan
bermacam-macam gas, kumpulan gas ini suatu saat akan habis dan itulah yang disebut
dengan kiamat.
Keterbatasan segala sesuatu yang ada di alam semesta itu
tentu menimbulkan pertanyaan, “Siapakah
yang bersifat tidak terbatas itu?” sebelumnya telah dijelaskan diatas bahwa
segala sesuatu tidak terjadi secara kebetulan. Dengan kata lain ada yang
menciptakan alam semesta ini. “Siapakah
Dia?” Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu yang bersifat
terbatas tersebut.
Dalam kaitannya membuktikan eksistensi Tuhan secara
logis, setidaknya terdapat tiga kemungkinan yang bisa menjelaskan tentang
eksistensi-Nya. Ketiga kemungkinan tersebut adalah, Tuhan menciptakan dirinya
sendiri, Tuhan diciptakan oleh yang lain dan Tuhan bersifat azali atau wajibul wujud.
Kemungkinan pertama yang menyatakan Tuhan menciptakan
diri-Nya sendiri adalah sesuatu yang mustahil. Sebab itu berarti, Dia bersifat
makhluk sekaligus Tuhan, itu juga berarti Dia bersifat terbatas sekaligus tidak
terbatas, hal ini jelas tidak mungkin.
Kemungkinan kedua yang mengatakan Dia diciptakan oleh
yang lain, juga sesuatu yang mustahil dan tidak dapat diterima oleh akal.
Sebab, jika Dia diciptakan oleh yang lain berarti Dia bersifat terbatas dan Dia
bergantung pada yang menciptakannya. Artinya Dia adalah makhluk dan makhluk itu
bersifat terbatas, hal ini jelas bukan syarat menjadi Tuhan.
Setelah kedua kemungkinan tersebut tidak mampu menjawab
eksistensi dan kebenaran Tuhan, maka pernyataan terakhirlah yang bisa diterima
yaitu Tuhan bersifat wajibul wujud.
Sebab Tuhan adalah Dia yang bersifat absolut
(mutlak) dan menguasai segalanya tanpa bergantung kepada apa pun. Maksud dari wajibul wujud adalah menolak dari semua
sifat ketidakpastian pada segala sesuatu yang ada dialam semesta ini.
Keberadaan Tuhan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan terikat atau
membutuhkan segala sesuatu yang lain. Selain itu, Tuhan bukanlah makhluk yang
baru ada setelah diciptakan, tetapi Dia adalah bersifat azali (tidak berawal dan berakhir).
Dengan
mengetahui dan memahami tentang jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut maka
dapat diambil kesimpulan bahwa Allah SWT adalah Tuhan tersebut dan bukan yang
lain.
Perlu diperhatikan bahwa, jangan pernah sekali-kali
membayangkan wujud Allah itu. Sebab hal tersebut akan membawa kepada
kemusyrikan. Selain itu akal tidak akan pernah mampu menjangkau wujud Dzat
Allah itu. Telah dijelaskan di atas bahwa akal itu hanya dapat menjangkau
segala hal yang dapat diinderanya. Diluar itu akal tidak akan bisa
menjangkaunya.
Oleh karena Dzat Allah bersifat ghaib, akal manusia tidak
akan bisa membayangkan wujud Allah. Jika dikatakan Allah duduk di atas ‘Arsy
yang agung, jangan pernah membayangkan duduknya Allah itu sama seperti manusia
duduk di kursi. Sekali lagi, akal manusia tidak akan pernah bisa menjangkau
wujud Allah swt.
Mungkin ada yang bertanya, “bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada Allah swt, sedang akalnya
sendiri tidak mampu memahami Dzat Allah swt?” pada hakekatnya iman itu
adalah percaya terhadap wujud Allah swt, sedangkan wujud-Nya dapat diketahui
melalui makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia, dan hidup.
Telah dijelaskan di atas bahwa akal manusia hanya mampu
menjangkau tiga unsur tersebut. Diluar itu, akal manusia tidak akan bisa
menjangkaunya, sedangkan hakekat Dzat Allah berada diluar ketiga unsur
tersebut. Oleh karena itu, usaha untuk memahami hakekat Dzat Allah mustahil
untuk dilakukan. Akal tidak akan mungkin memahami hakekat yang ada diluar batas
kemampuannya, karena perannya sangat terbatas. Keterbatasan itu, seharusnya
menjadi faktor penguat iman, dan bukan menjadi penyebab keragu-raguan atau kebimbangan.
Dalam proses berpikir mencari eksistensi Tuhan dan
membuktikan bahwa hanya Allah Tuhan yang patut disembah, harus memenuhi tiga
hal berikut ini:
1.
Sesuai dengan fitrah manusia
Keberadaan Tuhan sebagai pencipta haruslah sesuai dengan
fitrah manusia. Sesuai dengan fitrah ini maksudnya adalah, memuaskan akal dan
perasaan hati. Dengan kata lain, akal dan perasaan hati menjadi yakin serta
terpuaskan dan tidak bertanya-tanya lagi tentang eksistensi-Nya. Sebab,
bagaimana mungkin mengimani sesuatu yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Sebagai contoh, beriman kepada selain-Nya seperti pada api, patung, matahari,
pohon besar dsb.
Adapun makna fitrah adalah, sesuai dengan fakta
penciptaan apa adanya. Sebagai contoh, manusia fitrahnya tidak dapat terbang
tanpa alat, berjalan di air dan sebagainya. Sebab itu adalah fakta penciptaan
yang telah diciptakan oleh Allah apa adanya pada manusia.
2.
Memuaskan akal
Pencarian Dzat Allah sebagai Tuhan haruslah memuaskan
akal. Memuaskan akal dalam artian, akal tidak mencari-cari lagi eksistensi
Allah sebagai Tuhan. Sebab akal sudah cukup untuk membuktikan keberadaan
Pencipta itu dengan mengamati dan berpikir tentang benda-benda ciptaan-Nya. Sebab melalui proses berpikir
itulah akal telah menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang timbul sebagaimana
telah di jelaskan diatas.
3.
Menenangkan hati/jiwa
Maksud dari hal ini adalah, hati dan pikiran tidak
memiliki keraguan sedikitpun tentang Tuhan tersebut. Dengan kata lain, tidak
ada kontradiksi dalam hatinya tentang ke Maha Kuasaan Allah. Ketika turun kitab
Al Quran sebagai pedoman hidup, maka ia meyakininya sepenuh hati tanpa ada
keraguan sedikitpun tentangnya. Dengan begitu hati dan pikiran menjadi tenang
dan tidak ada rasa keraguan atau ke khawatiran sedikitpun tentang hal yang
diyakininya.
Jika proses keimanan terhadap Allah swt telah dicapai
melalui proses berpikir secara mendalam, secara otomatis kesadaran terhadap
adanya Allah swt sebagai Tuhan menjadi sempurna. Begitu pun dengan perasaan
yang telah yakin bahwa Tuhan itu ada dan dikaitkan dengan akal yang telah
berpikir secara mendalam, hal tersebut tentu akan sampai pada tingkat yang
sangat meyakinkan bahwa Tuhan itu adalah Allah swt dan bukan yang lain.
Wallahu 'Alam
0 komentar:
Posting Komentar