Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa
dilepaskan dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya kaum
santri. Yang menarik, berdasarkan laporan pemerintah Belanda sendiri,
bahwa peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial,
dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru
ngaji.
Ironis, sejarah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah, tidak
mengenalkan peran “Resolusi Jihad” yang dikomandoi oleh KH. Hasyim
Asy’ari yang mengeluarkan fatwa “wajib” bagi setiap muslim untuk
mempertahankan kemerdekaan.
Dan sangat disayangkan, sejarah negeri ini tenyata tidak pernah
berkata jujur tentang peran Laskar santri yang terhimpun dalam Hizbullah
maupun laskar kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam berperang
melawan penjajah. Ketika itu Hizbullah berada di bawah Masyumi, dimana
KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai Ketua Masyumi.
Laskar Hizbullah (Tentara Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah)
didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan
kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari
dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar
Sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur. Konon, pemuda pesantren dan
anggota Ansor NU (ANU) adalah pemasok paling besar dalam keanggotaan
Hizbullah.
Peran kiai dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar
Hizbullah-Sabilillah saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi
anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air). Menurut penelitian Agus
Sunyoto, dari enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir separuh
komandannya adalah para kiai.
Patut diketahui, Hizbullah dan Sabilillah adalah laskar rakyat paling
kuat yang pernah hidup di bumi Indonesia. Meskipun dalam sejarah,
keberadaan laskar tersebut disisihkan. Buktinya, perjuangan mereka tidak
ditemukan dalam museum-museum. Boleh jadi, para laskar ini seringkali
berselisih paham dengan pemerintah Soekarno yang tidak bersikap tegas
dalam menentang pendaratan pasukan Sekutu dan Belanda ketika itu.
Resolusi Jihad
Tahukah? Pada 21 Oktober 1945, telah berkumpul para kiai se-Jawa dan
Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat
sehari semalam, maka pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi
sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.
Sejarawan Belanda Bruinessen mengakui, Resolusi Jihad ini tidak mendapat
perhatian yang layak dari para sejarawan.
Dari perspektif historis, banyak orang-orang NU sendiri yang tidak
mengerti posisi sejarah Resolusi Jihad. Sangat disayangkan, Resolusi
Jihad yang diperankan NU termaginalisasi, bahkan terhapus dari memori
sejarah bangsa. Itu akibat pergulatan dan manuver politik, ada
upaya-upaya dari kelompok tertentu yang ingin menggusur NU dari dinamika
percaturan politik kebangsaan.
Tak dipungkiri, semangat ke-jam’iyyah-an NU di kalangan generasi muda
kini semakin merosot. Pada lingkup internal, banyak kader-kader muda NU
yang tidak mengerti rangkaian sejarah Resolusi Jihad. Survei
membuktikan, ingatan masyarakat tentang Resolusi Jihad NU 1945 yang
memiliki mata rantai dengan Peristiwa 10 November di Surabaya semakin
punah.
“Oleh karena itu, wacana Resolusi Jihad NU harus dihidupkan kembali,
direkonstruksi dan tidak ditempatkan pada upaya politisasi sejarah.
Tanpa Resolusi Jihad, tidak akan ada NKRI seperti yang kita cintai saat
ini,” kata Gugun El-Guyanie, penulis buku Resolusi Jihad Paling Syar’i.
Jangankan masyarakat umum, generasi-generasi penerus NU dari pusat
sampai ranting, Ansor-Fatayat, IPNU-IPPNU pun banyak yang tidak
mendapatkan transfer sejarah mengenai resolusi penting itu.
Setelah menginjak lebih dari setengah abad, memori tentang resolusi
itu hendak dihidupkan kembali. Di Surabaya, sudah mulai dibangun museum
Resolusi Jihad oleh PCNU Surabaya. Pengurus NU dan kader-kadernya pun
mulai berdiskusi dan memperingati hari Resolusi Jihad tiap tanggal 22
Oktober.
Anti Kolonial
Untuk menyegarkan ingatan kembali, dulu, NU telah mengharamkan
pantalon dan dasi. NU dengan tegas menolak sistem pendidikan model
Belanda. Ketika itu NU memakai hadits: ”man tasyabbaha bi qaumin fahuwa
minhum” (siapa yang menyerupai suatu golongan, tentu dia merupakan
bagian dari mereka).
Perlawanan kultural terhadap pemerintah kolonial Belanda, berhasil
membentuk kiai dan santri-santrinya menjadi lapisan masyarakat bangsa
Indonesia yang sangat anti penjajah, Pada gilirannya, sikap anti
penjajah ini memberikan sumbangan yang sangat besar pada perjuangan
menuju Indonesia merdeka.
Juga ingatlah, ketika Jepang mewajibkan agar bangsa Indonesia
mengikuti pendewaan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika dengan cara
membungkukkan badan ke arah Timur pada waktu-waktu tertentu, NU langsung
menyatakan penolakannya. Seperti juga semua orang Islam, pendewaan
kepada selain Allah, dipandang sebagai perbuatan syirik oleh NU.
KH. Hasyim Asy’ari secara terbuka menyatakan penolakan itu.
Pengaruhnya yang besar menghantarkan kiai pendiri NU ini dijebloskan
Jepang ke dalam tahanan. Saikerei yang diwajibkan kepada bangsa
Indonesia menjadi api yang membakar perlawanan umat Islam. Adalah KH.
Zaenal Musthofa dari Singaparna, seorang anggota NU, kemudian mengangkat
senjata. Sebuah perlawanan bersenjata pertama kali terhadap Jepang.
Ketika NU melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan
proklamasi kemerdekaannya, dan sudah mempunyai konstitusinya sendiri
(UUD 1945), maka pada tanggal 22 Oktober 1945, organisasi ini
mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad. Namun, sebelumnya NU mengirim surat
resmi kepada pemerintah yang berbunyi:
”Memohon dengan sangat kepada pemerintah Indonesia supaya menentukan
sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha
yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama
terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan
perjuangan yang bersifat ”sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik
Indonesia yang merdeka dan beragama Islam.”
Adapun resolusi yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa itu berbunyi:
- Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
- Republik Indonesia (RI) sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
- Musuh RI, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
- Umat Islam, terutama NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
- Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap muslim (fardhu ’ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan shalat jama’ dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.
Resolusi jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat
arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah.
Dengan semangat takbir yang dipekikkan Bung Tomo, maka terjadilah perang
rakyat yang heroik pada 10 November 1945 di Surabaya.
Dari sejarah ini, warga NU dan para elitnya, seyogianya tidak menjadi
alergi ketika akhir-akhir ini ada upaya untuk mengebiri, meredam dan
mengaburkan makna jihad.
Resolusi Jihad yang diserukan KH. Hasyim
Asy’ari, seyogianya diingat kembali. Karena resolusi jihad yang
bersejarah itu tak pernah lekang oleh waktu. Karena umat Islam memenuhi
panggilan jihad, maka disaat itulah harga diri dan kemuliaan akan
diraih.
Di era kemerdekaan ini, bisa saja seruan jihad dikembangkan maknanya,
tapi bukan berarti jihad harus dilenyapkan dan dikubur dalam-dalam.
Apalagi sampai membuat stigmatisasi, seolah jihad adalah sesuatu yang
mengancam dan membahayakan penguasa. Tanpa jihad, umat ini akan lesu dan
ternina-bobokan, juga tak punya visi ke depan. (voa-islam)
0 komentar:
Posting Komentar