Minggu, 05 Oktober 2014 | By: Tuxedo Kamen

JIKA KHILAFAH AKAN MENSEJAHTERAKAN RAKYAT, LALU MENGAPA PADA MASA RASULULLAH SAW. ADA JUGA ORANG MISKIN?



Ada yang menyatakan bahwa jika negara khilafah memang akan mensejahterakan rakyatnya, lantas mengapa pada masa Rasulullah saw. dan para Khulafaur Rasyidin juga tetap ditemukan orang miskin? Apakah ini berarti syariat Islam gagal mensejahterakan masyarakat?

TANGGAPAN:

Pertama, harus dipahami bahwa Islam memandang masalah kemiskinan itu sebagai permasalahan manusia, bukan semata-mata permasalahan ekonomi. Sebab, persoalan manusia itu juga saling terkait antara satu dengan yang lain. Maksudnya, persoalan kemiskinan sangat terkait dengan persoalan yang lain, bukan semata-mata karena faktor perekonomian suatu bangsa. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan persoalan ekonomi ini tidak cukup dengan memperbaiki sistem ekonomi yang bobrok, melainkan juga harus memperbaiki sistem-sistem atau aturan-aturan lainnya. Seperti faktor sosial, politik luar negeri, politik dalam negeri, termasuk soal akidahnya. Sehingga, persoalan kemiskinan ini harus dipandang sebagai bagian permasalahan manusia, bukan semata-mata dipandang sebagai persoalan ekonomi. Nah, karena kemiskinan dipandang sebagai persoalan manusia, maka kemiskinan itu akan menjadi salah satu fenomena kehidupan umat manusia, dari peradaban mana pun itu. Artinya, kemiskinan itu akan menjadi suatu keniscayaan yang melingkupi kehidupan manusia. Dari peradaban mana pun itu, dalam kurun waktu kapan pun itu. Kemiskinan, niscaya akan tetap ada.


Kedua, karena kemiskinan itu menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia, maka kita tidak akan bicara soal “nasib manusia”. Misalnya, “Kenapa saya ditakdirkan hidup miskin sedangkan yang lain tidak?” Sebab, ini adalah wilayah i’tiqadi (keyakinan). Karena masuk wilayah i’tiqadi atau keyakinan, maka harus ada dalil qath’i yang menyatakannya bahwa “Si A, Si B, Si C, akan bernasib miskin; sedangkan Si D, Si E, dan Si F jadi orang kaya”. Namun, dalil qath’i yang seperti ini tentu saja tidak ada. Karena tidak ada, maka jangan sampai manusia beranggapan bahwa “Saya sudah ditakdirkan hidup miskin”, atau “Dia sudah ditakdirkan hidup miskin”. Sebab, hal seperti ini tidak bisa dibahas manusia.

Jika tidak bisa dibahas manusia, lantas manusia harus membahas apa untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan ini? Jawabannya adalah membahas hal-hal yang bisa dibahas manusia, yaitu “apa yang menjadi faktor penyebab seseorang hidup berkekurangan atau membutuhkan.”

Dalam konteks faktor penyebab kemiskinan atau hidup manusia yang sangat membutuhkan, maka menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani ada tiga faktor, yaitu faktor individual, kedua faktor lingkungan (kultural), dan ketiga faktor negara (struktural).

Pada faktor penyebab kemiskinan yang pertama, bisa terjadi karena faktor individu orangnya. Bisa karena dia cacat secara fisik, mengalami keterbelakangan mental, tidak memiliki modal untuk usaha, karena usia lanjut, atau karena tidak memiliki ilmu sebagai modal untuk bekerja. Oleh karena itulah, seseorang (laki-laki) yang sudah baligh dan berakal sehat, serta sempurna fisiknya, dia diwajibkan untuk bekerja dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Jika karena faktor-faktor tersebut, dia masih juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan, maka sudah menjadi kewajiban bagi sanak kerabatnya untuk membantunya. Jika sanak kerabat juga masih belum bisa menolongnya, maka wajib bagi negara untuk menolongnya.

Pada faktor penyebab kemiskinan yang kedua, bisa terjadi pada lingkungan yang orang-orangnya memiliki pemahaman yang bisa menjerumuskannya dalam kemiskinan. Misalnya, memiliki sifat malas, atau berpaham fatalis (pasrah pada nasib). Dalam konteks ini maka siapa pun wajib mendidik orang-orang tersebut agar jangan sampai menjadi orang yang fatalis. Maka diperlukanlah kontrol sosial. Namun jika dari kontrol sosial ini ternyata tidak mampu, maka negara harus turun tangan, mendidik warga negaranya dan menyelamatkan mereka dari pemahaman-pemahaman yang salah.

Pada faktor penyebab kemiskinan yang ketiga, bisa terjadi karena sistem yang diterapkan negara benar-benar membuat masyarakat tidak mampu menjangkau apa-apa yang mereka butuhkan. Dari ketiga faktor penyebab kemiskinan, faktor terakhir inilah yang paling berperan. Sebab, sekali pun individu-individu di sebuah negara memiliki kecerdasan dan kesempurnaan fisik yang baik, juga kontrol sosial yang baik, namun jika sistem negara justru membuka peluang terjadinya efek kemiskinan, maka faktor pertama dan kedua menjadi tidak berlaku.

Katakanlah individu-individu di sebuah negara semuanya baik, kontrol sosial juga berjalan baik. Namun jika pendidikan itu begitu mahal, sumber daya alam dijarah asing, negara lepas tangan terhadap perilaku para kapitalis yang membunuhi bisnis rakyat kecil, maka tetap saja kemiskinan itu akan selalu ada.

Nah, dalam konteks inilah kita bisa memandang bagaimana kemiskinan pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dapat terjadi, sehingga kita tidak tergesa-gesa menyalahkan syariat Islam.
Ketika Rasulullah saw. menjabat sebagai kepala negara, beliau begitu perhatian kepada rakyat kecil. Pada masa Beliau saw., peran negara dan kontrol sosial masyarakat sangat baik, sehingga ketika ditemukan orang miskin, maka akan langsung diselesaikan. Sebagai contoh, suatu ketika datang seseorang kepada Rasulullah saw. Dia kelaparan. Seketika itu pula negara (yang direpresentasikan oleh pribadi Rasulullah saw.) mencarikan solusi.

Saat itu Rasulullah saw. meminta kepada para istri beliau, namun ternyata tidak ada yang dimiliki kecuali air. Lalu beliau berkata kepada kaum muslim, “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berkata: “Saya ya Rasulullah” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumahnya. Ia berkata kepada istrinya: "Muliakanlah tamu Rasulullah.” Istrinya berkata: “Kita tidak memiliki apa pun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.” Lelaki Anshar itu pun berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, sang istri menyiapkan makanan untuk tamu. Kemudian, menyalakan lampu di dalam rumah, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami istri ini memperlihatkan seolah-olah mereka sedang makan. Setelah itu, mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, Rasulullah saw., berkata kepada laki-laki itu: “Malam ini Allah tertawa atau ta'ajjub dengan perilaku kalian berdua.” Lalu Allah swt. menurunkan ayat-Nya: “dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)

Kenyataan di atas (dan juga kenyataan yang lain) menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi tidak disebabkan karena faktor yang ketiga atau kedua. Terbukti, bahwa orang Anshar tersebut segera turut membantu saudaranya dengan susah payah, dan Rasulullah saw. (selaku kepala negara) segera mencarikan solusi atas apa yang menimpa lelaki tadi.

Ada juga kisah lain, yaitu kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khathab ra. Suatu hari khalifah Umar bin Khathab ra. menemui beberapa orang yang berdiam diri di Masjid. Padahal saat itu adalah waktu siang hari, dimana orang-orang lain sibuk beraktivitas (dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan). Kepada mereka beliau bertanya, “Mengapa kalian tidak bekerja?” Salah seorang di antara mereka menjawab, ”Kami bertawakkal kepada Allah”. Mendengar jawaban itu, Umar ra. marah. Lantas dia berkata, ”Kalian adalah orang-orang yang malas, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak!!” Kemudian Khalifah Umar mengusir mereka dari masjid, namun tak lupa beliau memberikan biji-bijian kepada mereka seraya berkata, ”Tanamlah dan bertawakkal-lah kepada Allah!”

Kejadian tersebut menunjukkan kenyataan bahwa Umar bin Khathab ra. (selaku kepala negara) segera menyelesaikan persoalan yang menjadi sebab datangnya kemiskinan kepada sekelompok orang. Bayangkan jika hal tersebut terus dibiarkan, tentu akan berdampak pada masyarakat luas. Maka, Umar pun segera menegur mereka dan memberikan solusi kepada mereka, yaitu beberapa biji-bijian sebagai modal untuk mereka bekerja.

Teranglah sudah persoalannya. Jadi, persoalan kemiskinan yang terjadi pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, berbeda kasus dan berbeda cara penanganannya dengan kemiskinan yang terjadi di masa sekarang ini. Maka, dengan realitas seperti ini, sungguh sangat dangkal jika mengatakan bahwa syariat Islam tidak mampu menyelesaikan problem kemiskinan.
Maka, kesimpulannya adalah : beda sebab, beda solusi; antara adanya orang miskin pada masa Rasulullah saw. dengan orang miskin pada masa sekarang ini.

Wallahu a’lam…

0 komentar:

Posting Komentar