Ada yang menyatakan bahwa jika negara khilafah
memang akan mensejahterakan rakyatnya, lantas mengapa pada masa Rasulullah saw.
dan para Khulafaur Rasyidin juga tetap ditemukan orang miskin? Apakah ini
berarti syariat Islam gagal mensejahterakan masyarakat?
TANGGAPAN:
Pertama, harus dipahami bahwa Islam memandang
masalah kemiskinan itu sebagai permasalahan manusia, bukan semata-mata permasalahan
ekonomi. Sebab, persoalan manusia itu juga saling terkait antara satu dengan
yang lain. Maksudnya, persoalan kemiskinan sangat terkait dengan persoalan yang
lain, bukan semata-mata karena faktor perekonomian suatu bangsa. Oleh karena
itu, untuk menyelesaikan persoalan ekonomi ini tidak cukup dengan memperbaiki
sistem ekonomi yang bobrok, melainkan juga harus memperbaiki sistem-sistem atau
aturan-aturan lainnya. Seperti faktor sosial, politik luar negeri, politik
dalam negeri, termasuk soal akidahnya. Sehingga, persoalan kemiskinan ini harus
dipandang sebagai bagian permasalahan manusia, bukan semata-mata dipandang
sebagai persoalan ekonomi. Nah, karena kemiskinan dipandang sebagai persoalan
manusia, maka kemiskinan itu akan menjadi salah satu fenomena kehidupan umat
manusia, dari peradaban mana pun itu. Artinya, kemiskinan itu akan menjadi
suatu keniscayaan yang melingkupi kehidupan manusia. Dari peradaban mana pun
itu, dalam kurun waktu kapan pun itu. Kemiskinan, niscaya akan tetap ada.
Kedua, karena kemiskinan itu menjadi suatu
keniscayaan dalam kehidupan manusia, maka kita tidak akan bicara soal “nasib
manusia”. Misalnya, “Kenapa saya ditakdirkan hidup miskin sedangkan yang lain
tidak?” Sebab, ini adalah wilayah i’tiqadi (keyakinan). Karena masuk wilayah
i’tiqadi atau keyakinan, maka harus ada dalil qath’i yang menyatakannya bahwa
“Si A, Si B, Si C, akan bernasib miskin; sedangkan Si D, Si E, dan Si F jadi
orang kaya”. Namun, dalil qath’i yang seperti ini tentu saja tidak ada. Karena
tidak ada, maka jangan sampai manusia beranggapan bahwa “Saya sudah ditakdirkan
hidup miskin”, atau “Dia sudah ditakdirkan hidup miskin”. Sebab, hal seperti
ini tidak bisa dibahas manusia.
Jika tidak bisa dibahas manusia, lantas manusia
harus membahas apa untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan ini? Jawabannya
adalah membahas hal-hal yang bisa dibahas manusia, yaitu “apa yang menjadi
faktor penyebab seseorang hidup berkekurangan atau membutuhkan.”
Dalam konteks faktor penyebab kemiskinan atau
hidup manusia yang sangat membutuhkan, maka menurut Syaikh Taqiyuddin
An-Nabhani ada tiga faktor, yaitu faktor individual, kedua faktor lingkungan
(kultural), dan ketiga faktor negara (struktural).
Pada faktor penyebab kemiskinan yang pertama,
bisa terjadi karena faktor individu orangnya. Bisa karena dia cacat secara
fisik, mengalami keterbelakangan mental, tidak memiliki modal untuk usaha,
karena usia lanjut, atau karena tidak memiliki ilmu sebagai modal untuk
bekerja. Oleh karena itulah, seseorang (laki-laki) yang sudah baligh dan
berakal sehat, serta sempurna fisiknya, dia diwajibkan untuk bekerja dan
memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Jika karena faktor-faktor tersebut, dia
masih juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan, maka sudah menjadi
kewajiban bagi sanak kerabatnya untuk membantunya. Jika sanak kerabat juga
masih belum bisa menolongnya, maka wajib bagi negara untuk menolongnya.
Pada faktor penyebab kemiskinan yang kedua, bisa
terjadi pada lingkungan yang orang-orangnya memiliki pemahaman yang bisa
menjerumuskannya dalam kemiskinan. Misalnya, memiliki sifat malas, atau
berpaham fatalis (pasrah pada nasib). Dalam konteks ini maka siapa pun wajib
mendidik orang-orang tersebut agar jangan sampai menjadi orang yang fatalis.
Maka diperlukanlah kontrol sosial. Namun jika dari kontrol sosial ini ternyata
tidak mampu, maka negara harus turun tangan, mendidik warga negaranya dan
menyelamatkan mereka dari pemahaman-pemahaman yang salah.
Pada faktor penyebab kemiskinan yang ketiga, bisa
terjadi karena sistem yang diterapkan negara benar-benar membuat masyarakat
tidak mampu menjangkau apa-apa yang mereka butuhkan. Dari ketiga faktor
penyebab kemiskinan, faktor terakhir inilah yang paling berperan. Sebab, sekali
pun individu-individu di sebuah negara memiliki kecerdasan dan kesempurnaan
fisik yang baik, juga kontrol sosial yang baik, namun jika sistem negara justru
membuka peluang terjadinya efek kemiskinan, maka faktor pertama dan kedua
menjadi tidak berlaku.
Katakanlah individu-individu di sebuah negara
semuanya baik, kontrol sosial juga berjalan baik. Namun jika pendidikan itu
begitu mahal, sumber daya alam dijarah asing, negara lepas tangan terhadap
perilaku para kapitalis yang membunuhi bisnis rakyat kecil, maka tetap saja
kemiskinan itu akan selalu ada.
Nah, dalam konteks inilah kita bisa memandang
bagaimana kemiskinan pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dapat
terjadi, sehingga kita tidak tergesa-gesa menyalahkan syariat Islam.
Ketika Rasulullah saw. menjabat sebagai kepala
negara, beliau begitu perhatian kepada rakyat kecil. Pada masa Beliau saw.,
peran negara dan kontrol sosial masyarakat sangat baik, sehingga ketika
ditemukan orang miskin, maka akan langsung diselesaikan. Sebagai contoh, suatu
ketika datang seseorang kepada Rasulullah saw. Dia kelaparan. Seketika itu pula
negara (yang direpresentasikan oleh pribadi Rasulullah saw.) mencarikan solusi.
Saat itu Rasulullah saw. meminta kepada para
istri beliau, namun ternyata tidak ada yang dimiliki kecuali air. Lalu beliau
berkata kepada kaum muslim, “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang
ini?” Salah seorang kaum Anshar berkata: “Saya ya Rasulullah” lalu orang Anshar
ini membawa lelaki tadi ke rumahnya. Ia berkata kepada istrinya:
"Muliakanlah tamu Rasulullah.” Istrinya berkata: “Kita tidak memiliki apa
pun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.” Lelaki Anshar itu pun berkata:
“Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau
mereka minta makan malam!” Kemudian, sang istri menyiapkan makanan untuk tamu.
Kemudian, menyalakan lampu di dalam rumah, dan menidurkan anak-anaknya. Dia
lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami
istri ini memperlihatkan seolah-olah mereka sedang makan. Setelah itu, mereka
tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, Rasulullah saw., berkata kepada
laki-laki itu: “Malam ini Allah tertawa atau ta'ajjub dengan perilaku kalian
berdua.” Lalu Allah swt. menurunkan ayat-Nya: “dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Kenyataan di atas (dan juga kenyataan yang lain)
menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi tidak disebabkan karena faktor yang
ketiga atau kedua. Terbukti, bahwa orang Anshar tersebut segera turut membantu
saudaranya dengan susah payah, dan Rasulullah saw. (selaku kepala negara)
segera mencarikan solusi atas apa yang menimpa lelaki tadi.
Ada juga kisah lain, yaitu kisah yang terjadi
pada masa pemerintahan Umar bin Khathab ra. Suatu hari khalifah Umar bin
Khathab ra. menemui beberapa orang yang berdiam diri di Masjid. Padahal saat
itu adalah waktu siang hari, dimana orang-orang lain sibuk beraktivitas (dan
bekerja untuk memenuhi kebutuhan). Kepada mereka beliau bertanya, “Mengapa
kalian tidak bekerja?” Salah seorang di antara mereka menjawab, ”Kami
bertawakkal kepada Allah”. Mendengar jawaban itu, Umar ra. marah. Lantas dia
berkata, ”Kalian adalah orang-orang yang malas, padahal kalian tahu bahwa
langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak!!” Kemudian Khalifah Umar
mengusir mereka dari masjid, namun tak lupa beliau memberikan biji-bijian
kepada mereka seraya berkata, ”Tanamlah dan bertawakkal-lah kepada Allah!”
Kejadian tersebut menunjukkan kenyataan bahwa
Umar bin Khathab ra. (selaku kepala negara) segera menyelesaikan persoalan yang
menjadi sebab datangnya kemiskinan kepada sekelompok orang. Bayangkan jika hal
tersebut terus dibiarkan, tentu akan berdampak pada masyarakat luas. Maka, Umar
pun segera menegur mereka dan memberikan solusi kepada mereka, yaitu beberapa
biji-bijian sebagai modal untuk mereka bekerja.
Teranglah sudah persoalannya. Jadi, persoalan
kemiskinan yang terjadi pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin,
berbeda kasus dan berbeda cara penanganannya dengan kemiskinan yang terjadi di
masa sekarang ini. Maka, dengan realitas seperti ini, sungguh sangat dangkal
jika mengatakan bahwa syariat Islam tidak mampu menyelesaikan problem
kemiskinan.
Maka, kesimpulannya adalah : beda sebab, beda
solusi; antara adanya orang miskin pada masa Rasulullah saw. dengan orang
miskin pada masa sekarang ini.
0 komentar:
Posting Komentar