Setelah
berlangsung pertempuran sekian lama, akhirnya kaum Salib dapat mengepung Baitul
Maqdis, tapi penduduk kota Suci itu tidak mau menyerah kalah begitu saja.
Mereka telah berjuang dengan jiwa raga mempertahankan kota Suci itu selama satu
bulan.
Akhirnya
pada 15 Juli 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib, tercapailah
cita-cita mereka. Berlaangsunglah keganasan luar biasa yang belum pernah
terjadi dalam sejarah umat manusia.
Kaum
Kristian itu menyembelih penduduk, perempuan dan anak-kanak dengan sangat
ganasnya. Mereka juga membantai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristian
yang enggan bergabung dengan kaum Salib. Keganasan kaum Salib Kristian yang
sangat melampau itu dikutuk dan dikatakan oleh para saksi dan penulis sejarah
yang terdiri dari berbagai agama dan bangsa.
Seorang ahli
sejarah Perancis, Joseph François Michaud berkata:
“Pada saat
penaklukan Jerussalem oleh orang Kristian tahun 1099, orang-orang Islam
dibantai di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tidak punya tempat lagi
bagi orang-orang yang kalah itu. Beberapa orang mencoba mengelak dari kematian
dengan cara menghendap-hendap dari benteng, yang lain berkerumun di istana dan
berbagai menara untuk mencari perlindungan terutama di masjid-masjid. Namun
mereka tetap tidak dapat menyembunyikan diri dari pengejaran orang-orang
Kristian itu."
Tentara
Salib yang menjadi tuan di Masjid Umar, di mana orang-orang Islam mencoba
mempertahankan diri selama beberapa lama menambahkan lagi adegan-adegan yang
mengerikan yang menodai penaklukan Titus. Tentera infanteri dan kaveleri lari
tunggang langgang di antara para buruan. Di tengah huru-hara yang mengerikan
itu yang terdengar hanya rintihan dan jeritan kematian. Orang-orang yang menang
itu memijak-mijak tumpukan mayat ketika mereka lari mengejar orang yang cuba
menyelamatkan diri dengan sia-sia.
Raymond
d’Agiles, yang
menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri mengatakan:
“Di bawah
serambi masjid yang melengkung itu, genangan darah dalamnya mencecah lutut dan
mencapai tali kekang kuda.”
Michaud
berkata: “Semua yang tertangkap yang disisakan dari pembantaian pertama, semua
yang telah diselamatkan untuk mendapatkan upeti, dibantai dengan kejam.
Orang-orang Islam itu dipaksa terjun dari puncak menara dan atap-atap rumah,
mereka dibakar hidup-hidup,diseret dari tempat persembunyian bawah tanah,
diseret ke hadapan umum dan dikorbankan di tiang gantungan.
Air mata
wanita, tangisan anak-kanak, begitu juga pemandangan dari tempat Yesus Kristus
memberikan ampun kepada para algojonya, sama sekali tidak dapat meredakan nafsu
membunuh orang-orang yang menang itu. Penyembelihan itu berlangsung selama
seminggu. Beberapa orang yang berhasil melarikan diri, dimusnahkan atau
dijadikan budak untuk kerja paksa yang mengerikan.”
Gustav Le
Bon telah
menyiratkan penyembelihan kaum Salib Kristian tersebut dalam
kata-katanya:
“Kaum Salib
kita yang “bertakwa” itu melakukan berbagai bentuk kezaliman, kerusakan dan
penganiayaan, mereka kemudian mengadakan suatu mufakat yang memutuskan supaya
dibunuh saja semua penduduk Baitul Maqdis yang terdiri dari kaum Muslimin dan
bangsa Yahudi serta orang-orang Kristian yang tidak memberikan pertolongan kepada
mereka yang jumlah mencapai 60,000 orang. Orang-orang itu telah dibunuh semua
dalam masa 8 hari saja termasuk perempuan, kanak-kanak dan orang tua, tidak
seorang pun yang terkecuali.
Ahli sejarah
Kristian yang lain, Mill, mengatakan:
“Ketika itu
diputuskan bahawa rasa kasihan tidak boleh diperlihatkan terhadap kaum
Muslimin. Orang-orang yang kalah itu diseret ke tempat-tempat umum dan dibunuh.
Semua kaum wanita yang sedang menyusui, anak-anak gadis dan anak-anak lelaki
dibantai dengan kejam. Tanah lapang, jalan-jalan, bahkan tempat-tempat yang
tidak berpenghuni di Jerusssalem ditaburi oleh mayat-mayat wanita dan lelaki,
dan tubuh anak-kanak yang terkoyak. Tidak ada hati yang lebur dalam keharuan
atau yang tergerak untuk berbuat kebajikan melihat peristiwa mengerikan itu.”
Jatuhnya
kota Suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah mengejutkan para pemimpin
Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci yang telah dikuasainya selama lebih 500
tahun itu bisa terlepas dalam sekejap mata. Mereka sadar akan kekilafan mereka
karena terpecah-belah. Para ulama telah berbincang dengan para Sultan, Emir dan
Khalifah agar tindakan berat dalam perkara ini.Usaha mereka berhasil. Setiap
penguasa negara Islam itu bersedia bergabung tenaga untuk merampas balik kota
Suci tersebut.
Di antara
pemimpin yang paling gigih dalam usaha menghalau tentara Salib itu ialah
Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Emir Nuruddin Zanki dengan dibantu
oleh panglima Asasuddin Syirkuh.
Setelah
hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al
Ayyubi baru lahir ke dunia. Keluarga Shalahuddin taat beragama dan berjiwa
pahlawan.
Ayahnya,
Najmuddin Ayyub adalah seorang yang termasyhur dan beliau pulalah yang
memberikan pendidikan awal kepada Shalahuddin Al Ayyubi. Sholahuddin
Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Takrit Irak pada tahun 532 Hijrah /1138
Masihi dan wafat pada tahun 589 H/1193 M di Damsyik.
Shalahuddin
Al Ayyubi terlahir
dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat
sungai Tigris pada tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan
belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria,
yaitu Nuruddin Zangi.
Selain
belajar Islam, Shalahuddin Al Ayyubi pun mendapat pelajaran kemiliteran
dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk.
Bersama
dengan pamannya, Shalahuddin Al Ayyubi menguasai Mesir, dan
mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimiah (turunan dari Fatimah
Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).
Pada tahun
549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tentaranya merebut dan
menguasai Damsyik. Shalahuddin Al Ayyubi yang ketika itu baru berusia 16
tahun turut serta sebagai pejuang.
Pada tahun
558 H/1163 Masihi, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Al Ayyubi yang
ketika itu berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir yang
diperintah oleh Aliran Syi`ah Ismailiyah yang semakin lemah.
Usahanya
berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh
Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Perdana Menteri
Shawar merasa iri melihat Syirkuh semakin populer di kalangan istana dan
rakyat.
Dengan
sembunyi-sembunyi dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan
Salib untuk menghalau Syirkuh dari Mesir.
Pasukan
Salib yang dipimpin oleh King Almeric dari Jerussalem menerima baik jemputan
itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin dengan King Almeric
yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Setelah menerima syarat-syarat damai
dari kaum Salib, panglima Asasuddin dan Shalahuddin Al Ayyubi
diperbolehkan balik ke Damsyik.
Kerjasama
perdana menteri Shawar dengan orang King Almeric itu telah menimbulkan
kemarahan Emir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk
Baghdad.
Lalu
dipersiapkannya tentara besar yang dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin
Al Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar.
King Almeric
terburu-buru menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah
mendengar kemarahan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini
berhasil membinasakan pasukan King Almeric dan menghalaunya dari bumi Mesir.
Panglima
Shyirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi terus masuk ke ibu kota Kaherah dan
mendapat perlawanan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya
dapat bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi.
Khalifah Al-Adhid Lidinillah terpaksa menerima dan menyambut kedatangan
panglima Syirkuh untuk kedua kalinya.
Suatu hari
panglima Shalahuddin Al Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah
di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin
Al Ayyubi segera menangkap Shawar, dibawa ke istana dan kemudian dihukum
bunuh.
Khalifah
Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi perdana menteri
menggantikan Shawar. Perdana menteri Baru itu segera melakukan perbaikan dan
pembersihan pada setiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak
saudaranya, panglima Shalahuddin Al Ayyubi diperintahkan membawa
pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang sungai Nil sehingga
Assuan di sebelah utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan
Iskandariah.
Perdana
Menteri Syirkuh tidak lama memegang jawatannya, karena beliau wafat pada tahun
565 H/1169 M. Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al Ayyubi
menjadi pengganti Syirkuh dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi
dan Turki. Namun Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fatimiah,
Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Zanki sebagai ketuanya.
Nuruddin
Zanki berulang kali mendesak Shalahuddin Al Ayyubi agar menangkap
Khalifah Al-Adhid dan mengakhiri kekuasaan Daulat Fatimiah untuk seterusnya
diserahkan kembali kepada Daulat Abbasiah di Baghdad.
Akan tetapi Shalahuddin
Al Ayyubi tidak mau bertindak terburu-buru, beliau memperhatikan keadaan
sekelilingnya sehingga musuh-musuh dalam selimut betul-betul lumpuh.
Barulah pada
tahun 567 H/1171 Masihi, Shalahuddin mengumumkan penutupan Daulat Fatimiah dan
kekuasaan diserahkan semula kepada Daulat Abbasiah. Maka doa untuk Khalifah
Al-Adhid pada khutbah Jumaat hari itu telah ditukar kepada doa untuk Khalifah
Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiah.
(Bersambung ke Part 3)
0 komentar:
Posting Komentar