Rabu, 09 Oktober 2013 | By: Tuxedo Kamen

Kisah Sholahuddin Al Ayyubi Part 2



Setelah berlangsung pertempuran sekian lama, akhirnya kaum Salib dapat mengepung Baitul Maqdis, tapi penduduk kota Suci itu tidak mau menyerah kalah begitu saja. Mereka telah berjuang dengan jiwa raga mempertahankan kota Suci itu selama satu bulan. 

Akhirnya pada 15 Juli 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib, tercapailah cita-cita mereka. Berlaangsunglah keganasan luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. 

Kaum Kristian itu menyembelih penduduk, perempuan dan anak-kanak dengan sangat ganasnya. Mereka juga membantai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristian yang enggan bergabung dengan kaum Salib. Keganasan kaum Salib Kristian yang sangat melampau itu dikutuk dan dikatakan oleh para saksi dan penulis sejarah yang terdiri dari berbagai agama dan bangsa.


Seorang ahli sejarah Perancis, Joseph François Michaud berkata: 

“Pada saat penaklukan Jerussalem oleh orang Kristian tahun 1099, orang-orang Islam dibantai di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tidak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah itu. Beberapa orang mencoba mengelak dari kematian dengan cara menghendap-hendap dari benteng, yang lain berkerumun di istana dan berbagai menara untuk mencari perlindungan terutama di masjid-masjid. Namun mereka tetap tidak dapat menyembunyikan diri dari pengejaran orang-orang Kristian itu."


Tentara Salib yang menjadi tuan di Masjid Umar, di mana orang-orang Islam mencoba mempertahankan diri selama beberapa lama menambahkan lagi adegan-adegan yang mengerikan yang menodai penaklukan Titus. Tentera infanteri dan kaveleri lari tunggang langgang di antara para buruan. Di tengah huru-hara yang mengerikan itu yang terdengar hanya rintihan dan jeritan kematian. Orang-orang yang menang itu memijak-mijak tumpukan mayat ketika mereka lari mengejar orang yang cuba menyelamatkan diri dengan sia-sia.

Raymond d’Agiles, yang menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri mengatakan: 

“Di bawah serambi masjid yang melengkung itu, genangan darah dalamnya mencecah lutut dan mencapai tali kekang kuda.”

Michaud berkata: “Semua yang tertangkap yang disisakan dari pembantaian pertama, semua yang telah diselamatkan untuk mendapatkan upeti, dibantai dengan kejam. Orang-orang Islam itu dipaksa terjun dari puncak menara dan atap-atap rumah, mereka dibakar hidup-hidup,diseret dari tempat persembunyian bawah tanah, diseret ke hadapan umum dan dikorbankan di tiang gantungan.

Air mata wanita, tangisan anak-kanak, begitu juga pemandangan dari tempat Yesus Kristus memberikan ampun kepada para algojonya, sama sekali tidak dapat meredakan nafsu membunuh orang-orang yang menang itu. Penyembelihan itu berlangsung selama seminggu. Beberapa orang yang berhasil melarikan diri, dimusnahkan atau dijadikan budak untuk kerja paksa yang mengerikan.”

Gustav Le Bon telah menyiratkan penyembelihan kaum Salib Kristian tersebut dalam kata-katanya: 

“Kaum Salib kita yang “bertakwa” itu melakukan berbagai bentuk kezaliman, kerusakan dan penganiayaan, mereka kemudian mengadakan suatu mufakat yang memutuskan supaya dibunuh saja semua penduduk Baitul Maqdis yang terdiri dari kaum Muslimin dan bangsa Yahudi serta orang-orang Kristian yang tidak memberikan pertolongan kepada mereka yang jumlah mencapai 60,000 orang. Orang-orang itu telah dibunuh semua dalam masa 8 hari saja termasuk perempuan, kanak-kanak dan orang tua, tidak seorang pun yang terkecuali.


Ahli sejarah Kristian yang lain, Mill, mengatakan: 

“Ketika itu diputuskan bahawa rasa kasihan tidak boleh diperlihatkan terhadap kaum Muslimin. Orang-orang yang kalah itu diseret ke tempat-tempat umum dan dibunuh. Semua kaum wanita yang sedang menyusui, anak-anak gadis dan anak-anak lelaki dibantai dengan kejam. Tanah lapang, jalan-jalan, bahkan tempat-tempat yang tidak berpenghuni di Jerusssalem ditaburi oleh mayat-mayat wanita dan lelaki, dan tubuh anak-kanak yang terkoyak. Tidak ada hati yang lebur dalam keharuan atau yang tergerak untuk berbuat kebajikan melihat peristiwa mengerikan itu.”

Jatuhnya kota Suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci yang telah dikuasainya selama lebih 500 tahun itu bisa terlepas dalam sekejap mata. Mereka sadar akan kekilafan mereka karena terpecah-belah. Para ulama telah berbincang dengan para Sultan, Emir dan Khalifah agar tindakan berat dalam perkara ini.Usaha mereka berhasil. Setiap penguasa negara Islam itu bersedia bergabung tenaga untuk merampas balik kota Suci tersebut. 

Di antara pemimpin yang paling gigih dalam usaha menghalau tentara Salib itu ialah Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Emir Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh.

Setelah hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al Ayyubi baru lahir ke dunia. Keluarga Shalahuddin taat beragama dan berjiwa pahlawan. 

Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah seorang yang termasyhur dan beliau pulalah yang memberikan pendidikan awal kepada Shalahuddin Al Ayyubi. Sholahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Takrit Irak pada tahun 532 Hijrah /1138 Masihi dan wafat pada tahun 589 H/1193 M di Damsyik. 

Shalahuddin Al Ayyubi terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nuruddin Zangi.

Selain belajar Islam, Shalahuddin Al Ayyubi pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. 

Bersama dengan pamannya, Shalahuddin Al Ayyubi menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimiah (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).

Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tentaranya merebut dan menguasai Damsyik. Shalahuddin Al Ayyubi yang ketika itu baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang. 

Pada tahun 558 H/1163 Masihi, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Al Ayyubi yang ketika itu berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir yang diperintah oleh Aliran Syi`ah Ismailiyah yang semakin lemah.


Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Perdana Menteri Shawar merasa iri melihat Syirkuh semakin populer di kalangan istana dan rakyat.

Dengan sembunyi-sembunyi dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari Mesir. 

Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric dari Jerussalem menerima baik jemputan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin dan Shalahuddin Al Ayyubi diperbolehkan balik ke Damsyik.

Kerjasama perdana menteri Shawar dengan orang King Almeric itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. 

Lalu dipersiapkannya tentara besar yang dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. 

King Almeric terburu-buru menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemarahan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini berhasil membinasakan pasukan King Almeric dan menghalaunya dari bumi Mesir.

Panglima Shyirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi terus masuk ke ibu kota Kaherah dan mendapat perlawanan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Khalifah Al-Adhid Lidinillah terpaksa menerima dan menyambut kedatangan panglima Syirkuh untuk kedua kalinya.

Suatu hari panglima Shalahuddin Al Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin Al Ayyubi segera menangkap Shawar, dibawa ke istana dan kemudian dihukum bunuh.

Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi perdana menteri menggantikan Shawar. Perdana menteri Baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan pada setiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin Al Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang sungai Nil sehingga Assuan di sebelah utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah.

Perdana Menteri Syirkuh tidak lama memegang jawatannya, karena beliau wafat pada tahun 565 H/1169 M. Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al Ayyubi menjadi pengganti Syirkuh dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Turki. Namun Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fatimiah, Shalahuddin tetap  menganggap Emir Nuruddin Zanki sebagai ketuanya.

Nuruddin Zanki berulang kali mendesak Shalahuddin Al Ayyubi agar menangkap Khalifah Al-Adhid dan mengakhiri kekuasaan Daulat Fatimiah untuk seterusnya diserahkan kembali kepada Daulat Abbasiah di Baghdad. 

Akan tetapi Shalahuddin Al Ayyubi tidak mau bertindak terburu-buru, beliau memperhatikan keadaan sekelilingnya sehingga musuh-musuh dalam selimut betul-betul lumpuh.

Barulah pada tahun 567 H/1171 Masihi, Shalahuddin mengumumkan penutupan Daulat Fatimiah dan kekuasaan diserahkan semula kepada Daulat Abbasiah. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumaat hari itu telah ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiah.

(Bersambung ke Part 3)

0 komentar:

Posting Komentar