Rabu, 09 Oktober 2013 | By: Tuxedo Kamen

Kisah Sholahuddin Al Ayyubi Part 3



Ketika pengumuman peralihan kuasa itu dibuat, Khalifah Al-Adhid sedang sakit kuat, sehingga beliau tidak mengetahui perubahan besar yang berlaku di dalam negerinya dan tidak mendengar bahawa Khatib Jumaat sudah tidak mendoakan dirinya lagi. 

Sehari selepas pengumuman itu, Khalifah Al-Adhid wafat dan dikebumikan sebagaimana kedudukan sebelumnya, yakni sebagai Khalifah.


Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam lebih-lebih lagi di Mesir sendiri. 

Apalagi setelah perdana menteri Shawar berkomplot dengan kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, lebih-lebih di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Zanki.

Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai.
Serentak dengan itu pula, Perdana Menteri Shalahuddin Al Ayyubi telah meresmikan Universitas Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pengajian Syiah kepada pusat pengajian Ahlussunnah Wal Jamaah (Semoga ALLOH SWT membalas jasa-jasa Shalahuddin Al Ayyubi).

Walaupun sangat pintar dan bijak mengatur strategi dan berani di medan tempur, Shalahuddin Al Ayyubi berhati lembut, tidak mau menipu atasan demi kekuasaan dunia. 
Beliau tetap setia pada atasannya, tidak mau merampas kekuasaan untuk kepentingan peribadi. Karena apa yang dikerjakannya selama ini hanyalah mencari peluang untuk menghalau tentara Salib dari bumi Jerussalem. 

Untuk tujuan ini, beliau berusaha menyatukan wilayah-wilyah Islam terlebih dahulu, kemudian menghapuskan para pengkhianat agama dan negara agar peristiwa perdana menteri Shawar tidak berulang lagi.

Di Mesir, beliau telah berkuasa penuh, tapi masih tetap  taat setia pada kepimpinan Nuruddin Zanki dan Khalifah di Baghdad. Tahun 1173 M, Emir Nuruddin Zanki wafat dan digantikan oleh puteranya, Ismail, yang ketika itu baru berusia 11 tahun dan bergelar Mulk al Shalih. 

Para ulama dan pembesar menginginkan agar Emir Shalahuddin Al Ayyubi mengambil alih kuasa karena tidak suka kepada Mulk al-Shalih karena banyak melalaikan tanggung-jawabnya dan suka bersenang-senang. 

Akan tetapi Shalahuddin Al Ayyubi tetap taat setia dan mendoakan Mulk al Saleh dalam setiap khutbah Jumaat, bahkan mengabadikannya pada mata wang syiling.

Saat Damsyik terdesak oleh serangan kaum Salib, barulah Shalahuddin Al Ayyubi menggerakkan pasukannya ke Syiria untuk mempertahankan kota itu dari kejatuhan. 

Tidak lama kemudian Ismail wafat, maka Shalahuddin Al Ayyubi menyatukan Syria dengan Mesir dan menobatkan Emirat Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai Emirnya yang pertama. 

Tak berapa lama kemudian, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar. 

Negara di Afirka yang telah diduduki oleh laskar Salib dari Normandy, juga telah dapat direbutnya dalam masa yang singkat. 

Dengan ini kekuasaan Shalahuddin Al Ayyubi telah cukup besar dan kekuatan tentaranya cukup untuk mengusir tentara Kristian yang menduduki Baitul Maqdis selama berpuluh tahun.

Sifatnya yang lemah lembut, zuhud, wara’ dan sederhana membuat kaum Muslimin di bawah kekuasaannya sangat mencintainya. Demikian juga para ulama sentiasa mendoakannya agar cita-cita sucinya untuk merampas semula Tanah Suci berhasil dengan segera.

Setelah merasa kuat, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi memfokuskan perhatiannya untuk memusnahkan tentara Salib yang menduduki Baitul Maqdis dan merebut kota Suci itu semula. 

Banyak rintangan dan problem yang dialami oleh Sultan sebelum maksudnya tercapai. Siasat yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak tentara Salib untuk berdamai. 
Pada lahirnya, kaum Salib memandang bahwa Shalahuddin Al Ayyubi telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong. 

Sultan sudah mengira bahwa orang-orang Kristian itu akan mengkhianati perjanjian, maka ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk ini, beliau telah membuat persiapan secukupnya.

Ternyata memang betul, baru sebentar perjanjian ditanda tangani, kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. 

Maka Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, segera bergerak melancarkan serangan, tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri hampir kena tawan. Beliau kembali ke markasnya dan menyusun kekuatan yang lebih besar.

Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan ialah, dalam suasana perdamaian itu tiba-tiba tindakan seorang panglima Salib bernama Count Rainald de Chatillon (Renaud de Châtillon) yang bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald serta sisa pasukannya balik ke Jerussalem. 

Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin Al Ayyubi

Tanpa berfikir panjang, Count Rainald de Chatillon (Renaud de Châtillon) dan pasukannya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka termasuk saudara perempuan Shalahuddin.

Dengan angkuh Count berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?”

Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan perihal apa yang telah terjadi. 

Sultan sangat marah terhadap penghianatan gencatan senjata itu dan mengirim utusan ke Jerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawaban.
Dengan kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum Salib yang sering mengkhianati janji itu. Terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin.

Dalam pertempuran ini, Shalahuddin Al Ayyubi menang besar. Pasukan musuh yang berjumlah 45,000 orang hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri.



Semuanya diangkut ke Damaskus. Count Rainald yang telah menawan saudara perempuan Sultan dan menghina Nabi Muhammad SAW itu digiring ke hadapan beliau.

“Nah, apa yang telah kau saksikan sekarang, Apakah saya tidak cukup menjadi pengganti Nabi Besar Muhammad SAW untuk melakukan pembalasan terhadap berbagai penghinaanmu itu?” tanya Sultan Shalahuddin Al Ayyubi.

Shalahuddin Al Ayyubi mengajak Count agar masuk Islam, tapi dia tidak mau. Maka dia pun dihukum bunuh kerana telah menghina Nabi Muhammad SAW.

Setelah melalui berbagai peperangan dan menaklukkan berbagai benteng dan kota, sampailah Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pada tujuan utamanya yaitu merebut Baitul Maqdis.
Beliau mengepung Jerussalem selama empat puluh hari yang membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan keperluan makanan. 

Waktu itu Jerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60,000 orang.

Pada mulanya Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menyerukan agar kota Suci itu diserahkan secara damai. Beliau tidak ingin bertindak seperti yang dilakukan oleh Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1099 untuk membalas dendam. 

Akan tetapi pihak Kristian telah menolak tawaran baik dari Sultan, bahkan mereka mengangkat Komandan Perang untuk mempertahankan kota itu. Karena mereka menolak seruan, maka Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pun bersumpah akan membunuh semua orang Kristian di dalam kota itu sebagai membalas dendam ke atas peristiwa 90 tahun yang lalu. Mulailah pasukan kaum Muslimin melancarkan serangan ke atas kota itu dengan anak panah dan manjanik.

Kaum Salib membalas serangan itu dari dalam benteng. Setelah berlangsung serangan selama empat belas hari, kaum Salib melihat bahwa pintu benteng hampir musnah oleh serangan kaum Muslimin. 

Para pemimpin kaum Salib mulai merasa takut melihat kegigihan dan kekuatan pasukan Muslim yang hanya tinggal menunggu waktu untuk masuk. Beberapa pemimpin Kristian telah keluar menemui Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menyatakan hasratnya untuk menyerahkan kota Suci secara aman dan minta agar nyawa mereka diselamatkan.

Akan tetapi Sultan menolak sambil berkata: 

“Aku tidak akan menaklukkan kota ini kecuali dengan kekerasan sebagaimana kamu dahulu menaklukinya dengan kekerasan. Aku tidak akan membiarkan seorang Kristian pun melainkan akan kubunuh sebagaimana engkau membunuh semua kaum Muslimin di dalam kota ini dahulu.”

Setelah usaha diplomatik mereka tidak berhasil, Datuk Bandar Jerussalem sendiri datang menghadap Sultan dengan merendah diri dan minta dikasihani, membujuk dan merayu dengan segala cara. Sultan Shalahuddin Al Ayyubi tidak menjawabnya.

Akhirnya ketua Kristian itu berkata: 

“Jika tuan tidak mau berdamai dengan kami, kami akan balik dan membunuh semua tahanan (terdiri dari kaum Muslimin sebanyak 4000 orang) yang ada pada kami. Kami juga akan membunuh anak cucu kami dan perempuan-perempuan kami. Setelah itu kami akan binasakan rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang indah-indah, semua harta dan perhiasan yang ada pada kami akan dibakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah Shahra’, kami akan hancurkan semua yang ada sehingga tidak ada apa-apa lagi yang bisa dimanfaatkan. Selepas itu, kami akan keluar untuk berperang mati-matian, karena sudah tidak ada apa-apa lagi yang kami harapkan selepas ini. Tidak seorang pun boleh membunuh kami sehingga sebilangan orang-orang tuan yang terbunuh terlebih dahulu. Nah, jika demikian keadaannya, kebaikan apalagi yang bisa tuan harapkan?”

Setelah mendengar kata-kata itu, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menjadi lembut dan kasihan dan bersedia untuk memberikan keamanan. Beliau meminta nasihat para ulama yang mendampinginya mengenai sumpah berat yang telah diucapkannya. Para ulama mengatakan bahawa beliau mesti menebus sumpahnya dengan membayar Kifarat sebagaimana yang telah disyariatkan.

Maka berlangsunglah penyerahan kota secara aman dengan syarat setiap penduduk mesti membayar uang tebusan. Bagi lelaki wajib membayar sepuluh dinar, perempuan lima dinar dan anak-anak dua dinar saja. 

Barangsiapa yang tidak mampu membayar tebusan, akan menjadi tawanan kaum Muslimin dan berkedudukan sebagai hamba. Semua rumah, senjata dan alat-alat peperangan lainnya mesti ditinggalkan untuk kaum Muslimin. Mereka boleh pergi ke mana-mana tempat yang aman untuk mereka. Mereka diberi tempo selama empat puluh hari untuk memenuhi syarat-syaratnya, dan Barangsiapa yang tidak sanggup menunaikannya melewati dari waktu itu, ia akan menjadi tawanan. 

Ternyata ada 16,000 orang Kristian yang tidak sanggup membayar uang tebusan. Semua mereka ditahan sebagai hamba.

Maka pada hari Jumaat 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan Shalahuddin bersama kaum Muslimin memasuki Baitul Maqdis. Mereka melaungkan “Allahu Akbar” dan bersyukur kehadirat Allah SWT. 

Air mata kegembiraan menitis di setiap pipi kaum Muslimin saat memasuki kota itu. 

Para ulama dan solehin datang mengucapkan tahniah kepada Sultan Shalahuddin Al Ayyubi di atas perjuangannya yang telah berhasil. Apalagi tanggal tersebut bersamaan dengan tarikh Isra’ Mi`raj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. 

Pada hari Jumat tersebut, kaum Muslimin tidak sempat melaksankan sholat Jumat di Masjidil Aqsa karena sempitnya waktu. Mereka terpaksa membersihkan Masjid Suci itu dari babi, kayu-kayu salib, gambar-gambar rahib dan patung-patung yang dipertuhankan oleh kaum Kristian. 

Barulah pada Jumat berikutnya mereka melaksanakan solat Jumat di Masjidil Aqsa buat pertama kalinya dalam masa 92 tahun. 

Muhyiddin bin Muhammad bin Ali bin Zaki telah bertindak selaku khatib atas izin Sultan Shalahuddin Al Ayyubi.

Kejatuhan Jerussalem ke tangan kaum Muslimin telah membuat Eropa marah. Mereka melancarkan kutipan yang disebut “Saladin tithe”, yakni derma wajib untuk melawan Shalahuddin yang hasilnya digunakan untuk membiayai perang Salib. 

Dengan angkatan perang yang besar, beberapa orang raja Eropa berangkat untuk merebut kota Suci itu. Maka terjadilah perang Salib ketiga yang sangat sengit. 

Namun demikian, Shalahuddin Al Ayyubi masih dapat mempertahankan Jerussalem sehingga perang tamat. 

Setahun selepas perang Salib ke tiga itu, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pulang ke Rahmatullah (Semoga ALLOH SWT melimpahkan rahmat ke atasnya, Aamiin).
 

0 komentar:

Posting Komentar