Ketika
pengumuman peralihan kuasa itu dibuat, Khalifah Al-Adhid sedang sakit kuat,
sehingga beliau tidak mengetahui perubahan besar yang berlaku di dalam
negerinya dan tidak mendengar bahawa Khatib Jumaat sudah tidak mendoakan
dirinya lagi.
Sehari
selepas pengumuman itu, Khalifah Al-Adhid wafat dan dikebumikan sebagaimana
kedudukan sebelumnya, yakni sebagai Khalifah.
Dengan
demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah
selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan
Ahlussunnah di seluruh negara Islam lebih-lebih lagi di Mesir sendiri.
Apalagi
setelah perdana menteri Shawar berkomplot dengan kaum Salib musuh Islam.
Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di
seluruh wilayah-wilayah Islam, lebih-lebih di Baghdad dan Syiria atas restu
Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Zanki.
Mereka
sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al Ayyubi yang dengan
kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan
damai.
Serentak
dengan itu pula, Perdana Menteri Shalahuddin Al Ayyubi telah meresmikan
Universitas Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pengajian Syiah
kepada pusat pengajian Ahlussunnah Wal Jamaah (Semoga ALLOH SWT membalas
jasa-jasa Shalahuddin Al Ayyubi).
Walaupun
sangat pintar dan bijak mengatur strategi dan berani di medan tempur, Shalahuddin
Al Ayyubi berhati lembut, tidak mau menipu atasan demi kekuasaan
dunia.
Beliau tetap
setia pada atasannya, tidak mau merampas kekuasaan untuk kepentingan peribadi.
Karena apa yang dikerjakannya selama ini hanyalah mencari peluang untuk
menghalau tentara Salib dari bumi Jerussalem.
Untuk tujuan
ini, beliau berusaha menyatukan wilayah-wilyah Islam terlebih dahulu, kemudian
menghapuskan para pengkhianat agama dan negara agar peristiwa perdana menteri
Shawar tidak berulang lagi.
Di Mesir,
beliau telah berkuasa penuh, tapi masih tetap taat setia pada kepimpinan
Nuruddin Zanki dan Khalifah di Baghdad. Tahun 1173 M, Emir Nuruddin Zanki wafat
dan digantikan oleh puteranya, Ismail, yang ketika itu baru berusia 11 tahun
dan bergelar Mulk al Shalih.
Para ulama
dan pembesar menginginkan agar Emir Shalahuddin Al Ayyubi mengambil alih
kuasa karena tidak suka kepada Mulk al-Shalih karena banyak melalaikan
tanggung-jawabnya dan suka bersenang-senang.
Akan tetapi Shalahuddin
Al Ayyubi tetap taat setia dan mendoakan Mulk al Saleh dalam setiap khutbah
Jumaat, bahkan mengabadikannya pada mata wang syiling.
Saat Damsyik
terdesak oleh serangan kaum Salib, barulah Shalahuddin Al Ayyubi
menggerakkan pasukannya ke Syiria untuk mempertahankan kota itu dari
kejatuhan.
Tidak lama
kemudian Ismail wafat, maka Shalahuddin Al Ayyubi menyatukan Syria
dengan Mesir dan menobatkan Emirat Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai
Emirnya yang pertama.
Tak berapa
lama kemudian, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi dapat menggabungkan
negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang
besar.
Negara di
Afirka yang telah diduduki oleh laskar Salib dari Normandy, juga telah dapat
direbutnya dalam masa yang singkat.
Dengan ini
kekuasaan Shalahuddin Al Ayyubi telah cukup besar dan kekuatan
tentaranya cukup untuk mengusir tentara Kristian yang menduduki Baitul Maqdis
selama berpuluh tahun.
Sifatnya
yang lemah lembut, zuhud, wara’ dan sederhana membuat kaum Muslimin di bawah
kekuasaannya sangat mencintainya. Demikian juga para ulama sentiasa
mendoakannya agar cita-cita sucinya untuk merampas semula Tanah Suci berhasil
dengan segera.
Setelah
merasa kuat, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi memfokuskan perhatiannya untuk
memusnahkan tentara Salib yang menduduki Baitul Maqdis dan merebut kota Suci
itu semula.
Banyak
rintangan dan problem yang dialami oleh Sultan sebelum maksudnya tercapai.
Siasat yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak tentara Salib untuk
berdamai.
Pada
lahirnya, kaum Salib memandang bahwa Shalahuddin Al Ayyubi telah
menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong.
Sultan sudah
mengira bahwa orang-orang Kristian itu akan mengkhianati perjanjian, maka ini
akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk ini, beliau
telah membuat persiapan secukupnya.
Ternyata
memang betul, baru sebentar perjanjian ditanda tangani, kaum Salib telah
mengadakan pelanggaran.
Maka Sultan Shalahuddin
Al Ayyubi, segera bergerak melancarkan serangan, tapi kali ini masih gagal
dan beliau sendiri hampir kena tawan. Beliau kembali ke markasnya dan menyusun
kekuatan yang lebih besar.
Suatu
kejadian yang mengejutkan Sultan ialah, dalam suasana perdamaian itu tiba-tiba
tindakan seorang panglima Salib bernama Count Rainald de Chatillon (Renaud de
Châtillon) yang bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan
Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut
Merah dan Count Rainald serta sisa pasukannya balik ke Jerussalem.
Dalam
perjalanan, mereka berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin
yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin Al
Ayyubi.
Tanpa
berfikir panjang, Count Rainald de Chatillon (Renaud de Châtillon) dan
pasukannya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka termasuk saudara
perempuan Shalahuddin.
Dengan
angkuh Count berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk
menyelamatkan mereka?”
Seorang
anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan
perihal apa yang telah terjadi.
Sultan
sangat marah terhadap penghianatan gencatan senjata itu dan mengirim utusan ke
Jerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawaban.
Dengan
kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum Salib yang
sering mengkhianati janji itu. Terjadilah pertempuran yang sangat besar di
gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin.
Semuanya
diangkut ke Damaskus. Count Rainald yang telah menawan saudara perempuan Sultan
dan menghina Nabi Muhammad SAW itu digiring ke hadapan beliau.
“Nah, apa
yang telah kau saksikan sekarang, Apakah saya tidak cukup menjadi pengganti
Nabi Besar Muhammad SAW untuk melakukan pembalasan terhadap berbagai
penghinaanmu itu?” tanya Sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Shalahuddin
Al Ayyubi mengajak
Count agar masuk Islam, tapi dia tidak mau. Maka dia pun dihukum bunuh kerana
telah menghina Nabi Muhammad SAW.
Setelah
melalui berbagai peperangan dan menaklukkan berbagai benteng dan kota,
sampailah Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pada tujuan utamanya yaitu
merebut Baitul Maqdis.
Beliau
mengepung Jerussalem selama empat puluh hari yang membuat penduduk di dalam
kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan keperluan makanan.
Waktu itu
Jerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam
perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60,000 orang.
Pada mulanya
Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menyerukan agar kota Suci itu diserahkan
secara damai. Beliau tidak ingin bertindak seperti yang dilakukan oleh Godfrey
dan orang-orangnya pada tahun 1099 untuk membalas dendam.
Akan tetapi
pihak Kristian telah menolak tawaran baik dari Sultan, bahkan mereka mengangkat
Komandan Perang untuk mempertahankan kota itu. Karena mereka menolak seruan,
maka Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pun bersumpah akan membunuh semua
orang Kristian di dalam kota itu sebagai membalas dendam ke atas peristiwa 90
tahun yang lalu. Mulailah pasukan kaum Muslimin melancarkan serangan ke atas
kota itu dengan anak panah dan manjanik.
Kaum Salib
membalas serangan itu dari dalam benteng. Setelah berlangsung serangan selama
empat belas hari, kaum Salib melihat bahwa pintu benteng hampir musnah oleh
serangan kaum Muslimin.
Para
pemimpin kaum Salib mulai merasa takut melihat kegigihan dan kekuatan pasukan
Muslim yang hanya tinggal menunggu waktu untuk masuk. Beberapa pemimpin
Kristian telah keluar menemui Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menyatakan
hasratnya untuk menyerahkan kota Suci secara aman dan minta agar nyawa mereka
diselamatkan.
Akan tetapi
Sultan menolak sambil berkata:
“Aku tidak
akan menaklukkan kota ini kecuali dengan kekerasan sebagaimana kamu dahulu
menaklukinya dengan kekerasan. Aku tidak akan membiarkan seorang Kristian pun
melainkan akan kubunuh sebagaimana engkau membunuh semua kaum Muslimin di dalam
kota ini dahulu.”
Setelah
usaha diplomatik mereka tidak berhasil, Datuk Bandar Jerussalem sendiri datang
menghadap Sultan dengan merendah diri dan minta dikasihani, membujuk dan merayu
dengan segala cara. Sultan Shalahuddin Al Ayyubi tidak menjawabnya.
Akhirnya
ketua Kristian itu berkata:
“Jika tuan
tidak mau berdamai dengan kami, kami akan balik dan membunuh semua tahanan
(terdiri dari kaum Muslimin sebanyak 4000 orang) yang ada pada kami. Kami juga
akan membunuh anak cucu kami dan perempuan-perempuan kami. Setelah itu kami
akan binasakan rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang indah-indah, semua harta
dan perhiasan yang ada pada kami akan dibakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah
Shahra’, kami akan hancurkan semua yang ada sehingga tidak ada apa-apa lagi
yang bisa dimanfaatkan. Selepas itu, kami akan keluar untuk berperang
mati-matian, karena sudah tidak ada apa-apa lagi yang kami harapkan selepas
ini. Tidak seorang pun boleh membunuh kami sehingga sebilangan orang-orang tuan
yang terbunuh terlebih dahulu. Nah, jika demikian keadaannya, kebaikan apalagi
yang bisa tuan harapkan?”
Setelah
mendengar kata-kata itu, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menjadi
lembut dan kasihan dan bersedia untuk memberikan keamanan. Beliau meminta
nasihat para ulama yang mendampinginya mengenai sumpah berat yang telah
diucapkannya. Para ulama mengatakan bahawa beliau mesti menebus sumpahnya
dengan membayar Kifarat sebagaimana yang telah disyariatkan.
Maka
berlangsunglah penyerahan kota secara aman dengan syarat setiap penduduk mesti
membayar uang tebusan. Bagi lelaki wajib membayar sepuluh dinar, perempuan lima
dinar dan anak-anak dua dinar saja.
Barangsiapa
yang tidak mampu membayar tebusan, akan menjadi tawanan kaum Muslimin dan
berkedudukan sebagai hamba. Semua rumah, senjata dan alat-alat peperangan
lainnya mesti ditinggalkan untuk kaum Muslimin. Mereka boleh pergi ke mana-mana
tempat yang aman untuk mereka. Mereka diberi tempo selama empat puluh hari
untuk memenuhi syarat-syaratnya, dan Barangsiapa yang tidak sanggup
menunaikannya melewati dari waktu itu, ia akan menjadi tawanan.
Ternyata ada
16,000 orang Kristian yang tidak sanggup membayar uang tebusan. Semua mereka
ditahan sebagai hamba.
Maka pada
hari Jumaat 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan Shalahuddin bersama kaum Muslimin
memasuki Baitul Maqdis. Mereka melaungkan “Allahu Akbar” dan bersyukur
kehadirat Allah SWT.
Air mata
kegembiraan menitis di setiap pipi kaum Muslimin saat memasuki kota itu.
Para ulama
dan solehin datang mengucapkan tahniah kepada Sultan Shalahuddin Al Ayyubi
di atas perjuangannya yang telah berhasil. Apalagi tanggal tersebut bersamaan
dengan tarikh Isra’ Mi`raj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsa.
Pada hari
Jumat tersebut, kaum Muslimin tidak sempat melaksankan sholat Jumat di Masjidil
Aqsa karena sempitnya waktu. Mereka terpaksa membersihkan Masjid Suci itu dari
babi, kayu-kayu salib, gambar-gambar rahib dan patung-patung yang dipertuhankan
oleh kaum Kristian.
Barulah pada
Jumat berikutnya mereka melaksanakan solat Jumat di Masjidil Aqsa buat pertama
kalinya dalam masa 92 tahun.
Muhyiddin
bin Muhammad bin Ali bin Zaki telah bertindak selaku khatib atas izin Sultan Shalahuddin
Al Ayyubi.
Kejatuhan
Jerussalem ke tangan kaum Muslimin telah membuat Eropa marah. Mereka
melancarkan kutipan yang disebut “Saladin tithe”, yakni derma wajib untuk
melawan Shalahuddin yang hasilnya digunakan untuk membiayai perang Salib.
Dengan
angkatan perang yang besar, beberapa orang raja Eropa berangkat untuk merebut
kota Suci itu. Maka terjadilah perang Salib ketiga yang sangat sengit.
Namun
demikian, Shalahuddin Al Ayyubi masih dapat mempertahankan Jerussalem
sehingga perang tamat.
Setahun
selepas perang Salib ke tiga itu, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pulang ke
Rahmatullah (Semoga ALLOH SWT melimpahkan rahmat ke atasnya, Aamiin).
0 komentar:
Posting Komentar