Hakikat
Kedaulatan
Kedaulatan pada dasarnya merupakan kekuasaan mengelola
dan mengendalikan kehendak (al-mumârisu wa al-musayyiru li al-irâdah).
Itu maknanya adalah menentukan sikap atas perbuatan, apakah dilakukan atau
ditinggalkan, dan atas sesuatu termasuk benda apakah diambil/dipakai atau
tidak.
Dalam konteks kenegaraan, artinya adalah pembuatan
hukum dan perundang-undangan. Abbas al-‘Aqad dalam ad-dîmuqrâthiyah fî
al-Islâm menjelaskan, kedaulatan adalah sandaran hukum, yaitu sumber
yang menghasilkan undang-undang, atau pemimpin yang memiliki hak ditaati dan
harus beramal sesuai perintahnya.
Jadi kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang
bersifat absolut, mutlak, yang memiliki hak mengeluarkan hukum atas perbuatan
dan sesuatu (benda). Pemilik kedaulatan adalah pihak yang memiliki hak membuat
hukum itu. Para ulama dan fuqaha telah membahasnya sejak awal Islam dengan
istilah al-Hâkim. Yaitu man lahu haqqu ishdâri al-hukmi ‘alâ
al-af’âli wa al-asyyâ` -pihak yang memiliki hak untuk mengeluarkan hukum
atas perbuatan dan sesuatu.
Demokrasi – Kedaulatan Rakyat
Doktrin dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Ide
ini diawali oleh Rousseau. Ide kedaulatan rakyat itu dilembagakan dalam sistem
politik Demokrasi.
Dalam sistem demokrasi, kedaulatan adalah milik
rakyat. Rakyatlah yang berhak membuat hukum, aturan dan sistem untuk mereka
sendiri, dan rakyat pula yang berhak mengangkat seseorang sebagai penguasa
untuk mengimplementasikan hukum, aturan dan sistem itu atas mereka. Konsep ini
riilnya dilaksanakan melalui konsep perwakilan, di mana rakyat memilih wakilnya
untuk duduk di parlemen dan diberi kekuasaan legislatif untuk membuat UU.
Konsep kedaulatan rakyat ini senyatanya ilusif dan
berbahaya bagi rakyat sendiri. Ilusif sebab rakyat beranggapan, dan
dimanipulasi supaya tetap beranggapan, kedaulatan milik mereka. Faktanya
kedaulatan ada di tangan para anggota parlemen. Kedaulatan rakyat
disederhanakan begitu rupa menjadi sekadar kedaulatan parlemen atau kedaulatan
anggota parlemen. Sebab, merekalah yang riilnya menetapkan UU dan hukum, bukan
rakyat.
Bahkan anggota parlemen nyatanya tidak berdaulat,
tetapi harus nurut pendapat partai. Jadilah, yang menentukan adalah elit
partai. Pada akhirnya merekalah yang berdaulat, bukan anggota parlemen apalagi
rakyat. Lebih dari itu, dalam demokrasi sarat modal. Para politisi dan parpol
butuh dana besar untuk menjalankan proses politik. Dana itu sebagian kecil dari
kantong sendiri dan sebagian besarnya dari para pemilik modal. Maka para pemilik
modal itulah yang menjadi pihak paling berpengaruh dan paling berdaulat.
Karena kedaulatan milik rakyat, yakni milik manusia,
maka UU dan hukum itu akan dibuat mengikuti hawa nafsu manusia. Dalam hal ini
seringkali UU dan hukum yang dibuat justru buruk bagi manusia/rakyat sendiri.
Allah mengingatkan:
﴿إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا
رَحِمَ رَبِّي﴾
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (TQS Yusuf [12]: 53)
UU/hukum itu dibuat di parlemen secara rame-rame oleh
semua anggota parlemen. Mufakat bulat sangat jarang. Karena itu, keputusan
ditentukan dengan suara terbanyak melalui voting. Sangat boleh jadi, suara
terbanyak itu lebih menuruti hawa nafsu yang memerintahkan kepada kejahatan;
atau mengantarkan pada kesesatan. Allah SWT pun mengingatkan:
﴿وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ
عَن سَبِيلِ اللَّهِ ﴾
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (TQS al-An’am [6]: 116)
Hawa nafsu dan akal manusia yang jadi rujukan UU/hukum
itu berubah-ubah. Juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan, situasi dan
kondisi. Akibatnya tidak ada rujukan UU/hukum yang bersifat baku dan tetap.
Jika dikatakan ada rujukan baku yaitu konstitusi, faktanya jika parlemen
menghendaki konstitusi diubah maka akan berubah. Konstitusi negeri ini, meski
namanya tetap, sebenarnya telah diamandemen empat kali. Bahkan saat ini juga
ada suara untuk dilakukan amandemen kelima. Perubahan konstitusi itu bahkan
bisa mengubah watak dan orientasi konstitusi. Setelah amandeman empat kali,
konstitusi negeri ini justru menjadi makin liberal. Secara jangka panjang,
kepastian hukum tidak ada. Sebab yang jadi rujukan UU/hukum sendiri tidak
tetap. Apa yang dulu terlarang, saat ini dibolehkan bahkan dimandatkan. Apa
yang saat ini boleh, nanti bisa terlarang; atau sebaliknya. Akibatnya, nasib
umat manusia menjadi obyek pertaruhan.
Proses legislasi dalam demokrasi harus melalui proses
panjang sejak rancangan hingga keputusan; dan tak jarang terkatung-katung.
Contoh, UU halal. UU pornografi yang sama sekali tak cukup untuk mencegah
pornografi dan pornoaksi butuh lebih dari lima tahun hingga disahkan. Akibat
lamanya proses legislasi ini tentu penyelesaian problem yang perlu solusi hukum
selalu telat.
Proses legislasi dalam demokrasi itu juga perlu biaya
besar. Konon satu undang-undang menghabiskan miliaran rupiah. Meski mahal, UU
yang dihasilkan banyak yang merugikan rakyat dan lebih menguntungkan kapitalis
dan asing, seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU kelistrikan, UU Minerba, UU
SDA, dsb. Bahkan kadang kala pasal-pasal UU pun diperjualbelikan seperti yang
konon terjadi pada pasal tembakau.
Diantara akibat paling buruk, konsep kedaulatan rakyat
(kedaulatan parlemen) itu jadi pintu mengharamkan yang halal dan menghalalkan
yang haram. Lihat saja, riba, khamr, daging babi, dan hal-hal haram lainnya
justru dihalalkan.
Lebih dari itu, konsep kedaulatan rakyat itu jelas
bertentangan dengan Islam. Jika seseorang menyerahkan hak membuat hukum,
menentukan halal dan haram kepada dirinya sendiri atau manusia lain, dalam
pandangan Islam sama artinya menjadikan dirinya atau manusia lain itu sebagai
rabb selain Allah. Imam at-Tirmidzi, didalam Sunan-nya, telah
mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim ra., ia berkata: “Saya
mendengar Nabi saw. membaca surat Bara’ah:
﴿اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا
مِّن دُونِ اللَّهِ ﴾
”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai Tuhan selain Allah …” (TQS. at-Tawbah [9]: 31)
Beliau bersabda:
«أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ
وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا
حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ»
”Mereka memang tidak menyembah mereka (orang-orang
alim dan rahib-rahib), tetapi jika mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib)
menghalalkan sesuatu untuk mereka, mereka pun menghalalkannya; jika mereka
(orang-orang alim dan rahib-rahib) mengharamkan sesuatu untuk mereka, maka mereka
pun mengharamkannya.”
Kedaulatan dalam Islam
Dalam Islam, kedaulatan adalah milik syara’. Imam
asy-Syaukani di dalam Irsyâd al-Fuhûl menyatakan bahwa sejak dahulu
tidak ada perbedaan di tengah kaum muslim bahwa kedaulatan hanya milik syara’.
Allah SWT berfirman:
﴿… فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ …﴾
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…” (TQS. an-Nisâ [4]; 59)
Mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah
mengembalikan kepada ketentuan al-Quran dan as-Sunnah, yakni kepada hukum-hukum
syara’. Artinya syara’lah yang mengelola dan mengendalikan kehendak individu
maupun umat. Jadi kedaulatan itu milik syara’.
Bahkan Allah SWT menegaskan:
﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ
خَيْرُ الْفَاصِلِينَ﴾
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (TQS al-AN’am [6]: 57)
Al-Quran dan as-Sunnah yang menjadi rujukan hukum itu
bersifat tetap. Itu memberikan kepastian hukum jangka pendek maupun panjang.
Juga membuat hukum bisa dijauhkan dari pengaruh kepentingan, situasi dan
kondisi.
Ekstraksi hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dilakukan
melalui ijtihad. Apa yang sudah dinyatakan di dalam nash atau yang qath’i maka
tidak boleh ada ijtihad dan tidak perlu ditetapkan oleh khalifah. Kaedah ushul:
lâ ijtihâda ‘inda wurûdi an-nash –tidak ada ijtihad ketika sudah
dinyatakan oleh nash- atau lâ ijtihâda fi al-qath’iy –tidak ada ijtihad
pada masalah qat’iy-.
Untuk masalah zhanniyah, syara’ memberikan hak kepada
khalifah untuk mengadopsi suatu pendapat yang dinilai paling kuat, baik itu
hasil ijtihadnya sendiri atau ijtihad mujtahid lain. Dengan begitu, proses
legislasi dalam Islam itu sangat murah bahkan tanpa biaya. Prosesnya pun cepat.
Setiap problem bisa dengan cepat ada solusi hukumnya.
Legislasi yang dilakukan khalifah itu bisa dianalisis
oleh siapa saja yang memiliki kemampuan menelaah nash atau ijtihad. Jika
ternyata dinilai menyimpang maka Mahkamah Mazhalim bisa memeriksa dan
memutuskan shawab dan khatha’nya. Dengan begitu, UU/hukum yang diadopsi oleh
khalifah/negara akan senantiasa tidak keluar dari petunjuk al-Quran dan
as-Sunnah.
Wahai Kaum Muslim
Inilah sebagian keunggulan dan kebaikan konsep
kedaulatan dalam Islam. Semua itu tidak bisa dirasakan dan menjadi rahmat untuk
umat manusia, kecuali jika diterapkan secara riil di tengah kehidupan. Dan itu
hanya akan terwujud melalui sistem khilafah islamiyah yang mengikuti manhaj
kenabian. Segera mewujudkannya menjadi tugas dan kewajiban syar’iy kita.
0 komentar:
Posting Komentar