Kalau diibaratkan hidup berumah
tangga seperti mengendarai bus, peran ganda memang tidak bisa dipungkiri.
Adakalanya kondektur merangkap jadi sopir. Dan adakalanya pula, sopir berperan
ganda sebagai kondektur.
Hidup berpasangan memang penuh
warna-warni. Terlebih ketika sebuah pasangan telah teranugerahi buah hati.
Pelangi hidup jadi kian semarak. Dan tiap warna memberikan kenangan tersendiri
yang sulit terlupakan.
Di antara warna itu adalah ketika
seorang suami ingin merasakan repotnya jadi seorang isteri. Ini otomatis
menyangkut beban isteri pada anak-anaknya. Apa saja. Mulai masak, mengurus
anak, menata perabot rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, serta menampung
keluhan anak-anak.
Mungkinkah? Jawaban sebenarnya
bukan sekadar mungkin, tapi harus. Karena semua tugas itu memang terpikul di
pundak suami. Suamilah yang paling bertanggung jawab atas semua beban hidup
keluarga. Semantara isteri hanya sebagai kepanjangan tangan suami.
Buat suami yang mampu, mereka
menyediakan para pembantu buat tugas-tugas rumah seperti itu. Ada juru masak,
tukang cuci, perawat anak, dan tukang kebun. Tapi, buat yang kantongnya
pas-pasan, masih ada cara lain. Mau tidak mau, suami mesti terjun mengurus
seisi rumah. Setidaknya, itulah yang kini dialami Pak Hasan.
Bapak lima anak ini sadar betul
kalau tugas isteri itu sangat berat. Belum lagi kesibukan sosial di masyarakat.
Dan kesibukan luar itu bisa datang dari dua arah: sebagai pelaku dan sebagai
peserta. Kalau dua sebagai itu tergabung, kesibukan luar bisa berlipat-lipat.
Buat Pak Hasan, seorang isteri
adalah aset keluarga yang sangat mahal. Itulah kenapa ia bukan sekadar
mengikhlaskan isterinya aktif di masyarakat, bahkan memberikan semangat ketika
hasrat aktif itu mulai redup. Kalau sudah begitu, Pak Hasan mesti siap dengan
urusan rumah. “Ah, cuma masak ama nyuci ini lah. Gampang!” tekad Pak Hasan
sambil menatap sang isteri pergi.
Mulailah ia repot-repot memasak
mie instan. Mie siap, telor ada, air dalam panci mulai tampak mendidih.
Tapi.... Sesekali Pak Hasan menoleh ke arah anak-anak yang tak sabar menanti.
Ada yang mulai menangis, ada yang teriak-teriak, ada juga yang sibuk berebut
piring dan sendok. “Sabar, Nak!” suara Pak Hasan menambah riuh suasana.
Sejenak, ia seperti teringat
sesuatu. Tatapannya tiba-tiba begitu tajam ke arah dua benda di hadapannya: mie
dan telor. “Eh iya. Mana yang lebih dulu masuk, ya. Mie apa telor? Lha, saya
kok jadi bingung,” suara spontan Pak Hasan tiba-tiba. Sementara, suara tangis
dan teriakan anak-anaknya kian nyaring. Di luar dugaan, luapan air mendidih
lebih dulu mematikan kompor sebelum Pak Hasan mengambil keputusan: antara mie
dan telor.
Pernah juga Pak Hasan
berepot-repot memandikan tiga anaknya yang masih balita. Sementara dua anaknya
yang di SD sudah berangkat ke sekolah. Satu anaknya yang akan mandi tampak
menangis, “Nggak mau ayah. Dingin. Ani nggak mau mandi!” Sedang di kamar mandi
sudah tampak dua anaknya yang lain sedang guyur-guyuran dengan baju masih
melekat di badan. “Hati-hati, Nak. Nanti masuk kuping!” teriak Pak Hasan sambil
menggiring satu anaknya yang masih menangis ke kamar mandi.
Sesaat Pak Hasan terdiam. Ia
seperti mengingat sesuatu, “Ah iya, sabun mandinya habis.” Pak Hasan tampak
bingung. Nggak mungkin memandikan anak dengan bersih kalau nggak dengan sabun.
Tapi, siapa yang mau pergi ke warung. Tak ada orang lain kecuali dia dan tiga
anaknya yang sedang mandi. Kalau ditinggal pergi, ia khawatir anak-anaknya
terjatuh. Duh, gimana dong? Pak Hasan tambah bingung.
Sejenak, matanya menangkap sesuatu
di bak pencuci piring. Ah, itu dia. Pak Hasan bergegas mengambil sabun colek
yang biasa digunakan isterinya buat cuci piring. “Yah, masih sama-sama sabun,”
ucapnya sambil menghampiri anak-anaknya yang mulai kedinginan. Satu per satu,
anak-anak diolesi sabun, dibilas untuk kemudian digosok dengan handuk. Mandi
pun selesai.
Mulailah Pak Hasan menyiapkan baju
salin anak-anak. Ia teliti satu per satu baju yang ada. Mulai dari kecocokan
dengan cuaca yang musim hujan, warna, dan keserasian atasan dan bawahan. Saat
itulah ia kembali dihibur dengan suara merdu tangis anak-anaknya. Kali ini,
bukan cuma satu. Tapi ketiga-tiganya. “Aduh, gatal ayah! Badan adek gatal nih!”
Mendengar itu, spontan Pak Hasan
menghampiri anak-anaknya. Ketiganya tampak sibuk menggaruk-garuk tangan, badan,
dan kaki. “Kamu kenapa, Nak?” suara Pak Hasan agak panik. Tak ada jawaban
kecuali tangis yang kian menderu. “Lha, kenapa ya? Jangan-jangan...sabun colek
itu. Ya Allah!”
Pak Hasan menatap tiga anaknya
yang sedang tidur siang. Sesekali, ia kembali mengolesi obat gatal di kaki sang
anak yang hilang karena tergaruk. “Kasihan anak-anakku!” suara batin Pak Hasan
sesaat setelah ia beranjak ke ruang tengah.
Dari ruang itulah ia bisa melihat
hampir separuh isi rumahnya. Tampak ruang tamu yang acak-acakan. Dua kursi
terbalik, dan taplak meja terlihat menjuntai di atas lemari pajangan. Belum
lagi pemandangan lantai yang begitu semarak dengan mie instan mentah yang
berserakan.
Ia pun menoleh ke ruang dapur.
Tampak di sana piring-piring kotor saling bertumpukan. Dua gelas plastik
tergeletak di lantai dengan genangan larutan warna coklat. Tak jauh dari situ,
baju dan celana dalam anak-anak berserakan.
Saat
itu, Pak Hasan teringat sesuatu. Ia kian sadar betapa tugas seorang isteri
tidak mudah. Berat! Ah, ternyata lebih mudah jadi sopir daripada berperan
sebagai kondektur
0 komentar:
Posting Komentar