Senin, 09 November 2015 | By: Tuxedo Kamen

Berpikir Islami

Berpikir adalah ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Orang yang berpemikiran tinggi tentu lebih dihormati dari pada orang yang berpemikiran rendah. Allah SWT mengangkat beberapa derajat orang-orang yang beriman dan berpemikiran tinggi - Al Qur'an menyebutnya dengan berilmu pengetahuan. Logikanya, apabila seorang muslim menginginkan ketinggian derajat di sisi Allah, mestilah ia mengingkatkan kualitas iman dan pemikirannya. Tapi, kini apa kenyataannya?
Banyak kaum muslimin telah kehilangan pola berpikir Islami. Salah satu sebabnya adalah ulah Barat. Mereka, dengan berbagai cara, telah meracuni dan membelokkan pemikiran umat Islam dari pemikiran yang tinggi -bersumber pada wahyu Ilahi dan Sunnah Rasulnya- kepada pemikiran rendah -berdasar filsafat dan praduga semata.



Maka, tidak mengherankan, ketika hinaan dan celaan datang -terutama dari kaum kafir Barat- menimpa umat di seluruh dunia Islam, kaum muslimin tetap tenang-tenang saja. Hal itu terlihat, misalnya dalam peristiwa perang Teluk. Saat Amerika dan sekutunya menghancurkan Irak, umat Islam diam, tidak dapat berbuat banyak. Bahkan beberapa negeri, dengan bangga, turut andil dalam penyerbuan itu.

Kisah sedih lain, ternyata tak banyak orang Islam di masa kini yang mampu menggali nash-nash syar'i sebagai pemecah problema kehidupan. Berbeda sekali dengan masa kejayaan Islam di masa dulu, dunia Islam kaya dengan orang-orang yang menguasai agama ini dan siap menjawab setiap tantangan kehidupan dengan pemecahan Islam. Lebih tragis lagi, ada sebagian umat Islam yang menolak ijtihad. Pintu ijtihad dikatakan seolah-olah telah tertutup selamanya. Dan mustahil, dengan nada pesimis, dunia akan mencetak kembali orang-orang macam Imam Syafi'i atau Ibnu Taimiyah. Akibatnya, kedinamisan ide dan langkah meraih keagungan Islam, terkekang. Kondisi semacam ini belum pernah dialami oleh umat terdahulu. Mereka --pada masa itu-- tidak pernah berhenti bergerak mencari ilmu, bekerja dan berdakwah, hingga kebenaran dan kemenangan Islam terwujud.

Jika ingin kemuliaan Islam muncul kembali, kaum muslimin tidak bisa tidak, harus memegang teguh dan meningkatkan daya pikir Islaminya. Sadar atau tidak, Umat ini telah terlampau lama meninggalkan pola berpikir Islaminya. Persoalannya sekarang, bagaimana ketinggian pemikiran Islam itu dapat diraih kembali. Untuk itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian berfikir dan prosesnya.

Definisi Berpikir

Cara berpikir (aqliyah) adalah salah satu di antara dua unsur pembentuk kepribadian (Syakhshiyyah). Dalam buku "As Syakhshiyah Islamiyah", Taqiyyudin An Nabhani mendefinisikan aqliyah, sebagai cara berpikir atau memahami sesuatu. Ada dua hal yag perlu dijelaskan dari definisi tersebut. Pertama, tentang makna berpikir tentang sesuatu (aqlus syai'). Kedua, tentang cara-cara berpikir.

Berpikir dalam Bahasa Arab disebut dengan tiga lafadz yaitu al aqlu, al fikru dan al idrak. Ketiganya, menunjuk pada satu pengertian: berpikir. Sedang proses berpikir, tulis Muhammad Ismail dalam Al Fikrul Islami, adalah aktifitaas pemindahan fakta melalui indera ke dalam otak, dengan informasi yang ada atau sudah ada (ma'lumat tsaabiqah) akan menafsirkan untuk menafsirkan fakta tersebut. Jadi, unsur berpikir ada 4 komponen yaitu: fakta, indera, otak, dan informasi yang berkaitan dengan sesuatu yang diinderanya. Keempat unsur itulah yang membentuk pemikiran. Bila salah satu tidak ada, mustahil terjadi proses berpikir.

Sementara, terjadinya proses berpikir itu sendiri, tidaklah diketahui persis bagaimana dan dimana tempatnya. Menurut An Nabhani, tempatnya bukan di otak, sebagaimana pendapat banyak orang. Sebab otak hanyalah pusat indera. Tetapi, otak tetap berperan, yakni sebagai penyimpan informasi. Dengan informasi itu, fakta yang terindera dapat dipahami.

Jadi timbulnya pemikiran atau pemahaman pada seseorang adalah ketika terikatnya fakta yang terindera dengan informasi yang telah dimiliki. Meskipun terakumulasi informasi, jika ia tidak pernah mengindera fakta tersebut atau mengkaitkan dengan kenyataannya, maka itu bukan proses berpikir. Tapi menghafal. Ia tidak mempunyai pemikiran dan pemahaman terhadap informasi yang dimilikinya. Seseorang yang dijejali dengan informasi-informasi tanpa pernah meng-indera-fakta-kan informasi tersebut, ia hanya berkemampuan sebatas menghafal informasi. Sebaliknya, seseorang yang mengindera suatu fakta atau benda -berkali-kali sekalipun- tanpa memiliki informasi tentang fakta itu, maka ia tidak akan mempunyai pemikiran atau pemahaman terhadap benda yang diinderanya itu.

Misalnya, dihadapan seorang anak diletakkan tiga macam benda, timbangan, apel dan api. Kemudian, kepadanya diberikan berbagai informasi tentang ketiga benda itu. Bahwa, timbangan untuk menimbang, apel dapat dimakan, dan api dapat membakar. Demikian, berulang kali. Lalu, tanyakan padanya, mana yang disebut timbangan. Tak mustahil, ia akan menunjuk timbangan. Tetapi bila melihat anda tidak setuju, maka ia akan mengubah pendiriannya dan menunjuk benda lain. Anak itu telah menghafal informasi tersebut dan mampu mengulang-ulangnya. Namun, dalam dirinya belum terbentuk suatu pemikiran.

Lain halnya jika anda memperlihatkan padanya sebuah timbangan. Lalu, anda katakan bahwa timbangan itu dapat digunakan untuk menimbang, dan anda memperagakannya berulang-ulang. Atau anda perlihatkan padanya apel atau api. Kemudian anda berikan berbagai informasi mengenainya, dan anda tunjukkan bendanya berulang-ulang. Maka, akan terbentuk suatu permikiran pada diri si anak. Jika ia ditanya, mana yang disebut timbangan, tentu ia akan menunjukkan benda itu pada anda -meskipun anda menolak atau menyalahkannya. Ia tidak perduli dan tetap bertahan, sebab ia telah memahami hal itu. Ia akan dapat mengetahuinya cukup dengan melihat atau mengingat namanya. Dalam dirinya telah terfahamkan mengenai benda-benda tersebut. Yakni, dengan terjadinya perpaduan antara fakta dan informasi yang ada dalam dirinya.

Saat memadukan fakta yang diindera dengan informasi yang dimilikinya, pemahaman seseorang sangat dipengaruhi oleh suatu qaidah fikriyah atau landasan berpikir yang dimilikinya. Qaidah fikriyah adalah pemikiran yang paling mendasar. Ia merupakan aqidah bagi seseorang. Aqidah inilah yang mendasari seluruh bentukan pemikiran seseorang. Tak peduli, benar atau salah.

Qaidah fikriyah adalah penentu cara berpikir seseorang. Jika ia menggunakan aqidah komunis atau materialis sebagai qaidah fikriyahnya, ia berpikir dengan cara komunis (aqliyyah syuyu'iyyah). Bila ia menggunakan aqidah kapitalis sekuleris, ia akan berpikir secara kapitalis (aqliyah ra'sumaliyah). Dan jika Islam yang digunakannya sebagai qaidah, ia akan berpikir secara Islami. Itulah yang disebut aqliyah Islamiyah. Dengan kata lain, "Aqliyah adalah cara-cara berpikir, yang di dalam cara-cara itu terikat atau terpadu fakta dengan informasi atau informasi dengan fakta yang distandarisasi oleh satu qaidah tertentu".

Bagaimana Seorang Muslim Berpikir Islami ?

Aqidah harus tertanam dalam diri seorang muslim, pertama kali. Seseorang dikatakan mempunyai Aqliyah Islamiyah manakala menjadikan aqidah Islamiyah sebagai asas bagi proses berpikirnya. Juga, disaat menangkap pemikiran-pemikiran dan fenomena-fenomena yang terjadi, ia menilai dengan landasan Aqidah Islamiyah. Ketika Aqidah Islamiyah memberikan nilai benar, ia membenarkan dan mengikuti. Sebaliknya, jika Aqidah Islam menilai salah, ia menolak dan menyalahkannya. Seseorang yang telah melakukan hal semacam ini (membenarkan dan menyalahkan sesuatu berdasarkan Aqidah), berarti ia telah memiliki Aqliyah Islamiyah.

Status pemilikan Aqliyah Islamiyah dalam diri seseorang tidak ditentukan apakah ia seorang alim (cendekiawan ) atau awam. Yang penting disini adalah, kebulatan tekad yang terpatri dalam hati untuk menjadikan Aqidah Islam sebagai "penstandar" bagi setiap informasi dan fakta-fakta yang diterima atau di jumpainya.Dalam soal ini tidakbeda antara Imam Syafi'i -- mujtahid terkemuka-- dengan Mang Pi'i yang hanya hafal beberapa ayat untuk keperluan shalatnya. Begitu juga, tidak beda antara Prof. Dr.Ir. A. Baquini --jago nuklir itu-- dengan bang Miing yang hanya tahu, air itu musti jatuhnya ke bawah, dan beli SDSB hukumnya haram. Juga kata Mang Miing, korupsi dan kolusi itu dosa.

Prof. Baquini misalnya, mampu mengkritik teori-teori dasar ilmu Kimia seperti Hukum Kekekalan Masa-sebagai tidak Islami.Soalnya ,temuan Lavoisier (1743-1794), yang kemudian dikembangkan oleh Einstein sebagai hukum kekekalan Energi, menganggap materi itu kekal, tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Pemikiran semacam itu, kata Baiquni adalah dari paham komunus. Berarti, Prof. Baiquini memiliki Aqliyah Islamiyah, sama dengan Mang Miing tadi.

Jadi, Islami tidaknya cara berpikir seseorang --sekali lagi-- bukan terletak pada alim tidaknya seseorang. Tapi, yang prinsip, apakah ia menjadikan Islam sebagai tolok ukur dalam proses berpikirnya atau tidak. Oleh karena itu, walaupun pengetahuan Islamnya pas-pasan,ia tetap bisa dikatakan memiliki Aqliyah Islamiyah. Asal ia gunakan fikrah Islamiyah sebagai tolok ukur dari proses berpikirnya.

Sementara para Orientalis, meskipun ia memiliki pengetahuan luas tentang Islam --paham Ilmu Al Qur'an, Hadist, Siroh Rasul, Sejarah Umat Islam, bahkan mungkin lebih ahli dari kebanyakan umat Islam-- tak dapat ia dikatakan memiliki pemikiran Islami. Sebab ia tidak menjadikan Islam sebagai landasan berpikir. Ia tetap bertahan dengan aqidah Kapitalismenya. Maka, pemikirannya dikatakan sebagai pemikiran Kapitalis (Aqliyah Ra'sumaliyah).

Aqliyah Islamiyah (pemikiran Islami) adalah cara berfikir, yang didalamnya terjadi pengikatan atau pemaduan antara fakta dan informasi, atau informasi dan fakta, yang dilandaskan padaAqidah Islam. Dengan demikian, kepahaman-kepahaman (mafahim) yang dihasilkan dari proses berfikir tersebut adalah mafahim Islam.Mafahim itu penting bagi seorang muslim untuk menstandarisasi atau melandasi perbuatan-perbuatannya.

Terwujudnya Aqliyah Islamiyah pada diri seseorang, adalah tatkala ia mulai bertekad bulat untuk menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan bagi setiap menafsirkan dan memahami informasi dan fakta-fakta yang diterima atau dijumpainya dan untuk meningkatkan kualitas Aqliyah Islamiyah-nya, seorang muslim mau tidak mau harus mempelajari Tsaqofah Islamiyah (Khasanah Ilmu dan Pemahaman Islam).

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy dalam Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah, Jilid I, halaman 211, mendefinisikan Tsaqofah Islamiyyah sebagai pengetahuan yang titik tolak pembahasannya adalah aqidah Islam. Baik pengetahuan itu mencakup serta membahas aqidah Islam itu sendiri seperti ilmu tauhid, ataupun pengetahuan itu didasarkan atas aqidah Islam seperti tafsir, hadits, dan fiqh; ataupun pengetahuan yang mutlak diperlukan untuk memahami hukum-hukum yang lahir dari aqidah Islam, yakni pengetahuan yang wajib dimiliki untuk bisa berijtihad, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab, mustholah hadits, dan ilmu ushul fiqh.

Tsaqofah Islamiyah seluruhnya bersumber kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Semua cabang Tsaqofah Islamiyyah muncul dari kedua sumber ini secara langsung, atau melalui pemahamannya. Bahkan, Al-Qur'an dan As-Sunnah sendiri merupakan bagian Tsaqofah Islamiyyah. Dan aqidah Islam mewajibkan setiap muslim untuk berpegang teguh kepada keduanya serta mengamalkannya. al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah memang untuk diterangkan kepada manusia, sebagaimana firman Allah SWT:

{ وَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ }

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Dengan mempelajari Tsaqofah Islamiyah, diharapkan seorang muslim senantiasa dapat memecahkan segala macam problema yang dihadapinya dengan cara Islami, dan kedudukan Aqidah Islam sebagai standarisator benar-benar akan mencakup seluruh aspek kehidupan. Pada gilirannya nanti dia akan muncul diantara umat manusia sebagai salah seorang pemikir Islam yang handal.

0 komentar:

Posting Komentar