Selasa, 25 Februari 2014 | By: Tuxedo Kamen

10 Fakta Kerusakan dan kebohongan demokrasi Part 1

Demokrasi, sebuah kata yang sudah tak asing lagi ditelinga kita semua, dimana dalam demokrasi orang mendapat hak yang sama dan diperlakukan secara adil dan setara tanpa memandang ras dan agama ataupun pendidikan. Namun benarkah seperti itu? 

10 Fakta berikut ini mengungkap kebohongan itu semua





Fakta Pertama
Masih segar dalam ingatan kasus Semanggi Mei 1998 yang lalu, ketika semua orang menuntut presiden Soeharto untuk turun setelah lebih dari 30 tahun berkuasa. Saat itu, mahasiswa turun kejalan dan menduduki gedung MPR DPR, pemerintah dibuat bingung dan kewalahan dengan aksi massa yang tidak terkendali. Saat itu, ada yang disebut dengan penembak misterius yang secara membabi buta menembaki para mahasiswa yang sedang mengamuk. Saat itu dengung reformasi dalam segala hal terus menggema disegala bidang. Akhirnya berakhir lah masa pemerintahan ORBA dan beralih kepada masa reformasi.

Tahun 1999 partai lokomotif reformasi dibawah kepemimpinan Amin Rais berada diatas angin dan menjadi pemimpin reformasi yang saat itu tengah bergema. Namun hasil pemilu saat itu berkata lain, partai yang terdepan menyuarakan reformasi ini tidak memenangkan pemilu. Partai pemenang pemilu justru partai yang citra reformasinya tidak terlalu kental dibandingkan partai yang dikomandoi oleh Amin Rais. Salah satu sebabnya adalah keuangan yang mereka miliki tidak sebanyak partai yang lain yang lebih banyak.

Hal ini tentu banyak menimbulkan pertanyaan, apakah demokrasi itu benar-benar keinginan luhur rakyat yang harus dipenuhi oleh para wakil rakyat? Sebab, setelah lebih dari 10 tahun era reformasi ini berjalan sebagian besar masyarakat Indonesia justru merasa hidup lebih baik di era ORBA.

Agung (samaran) seorang pedagang kecil di daerah Jakarta mengaku bahwa hidup di era Soeharto masih lebih baik ketimbang sekarang. Saat itu, harga-harga murah dan terjangkau bahkan sampai swasembada beras. Nasib rakyat kecil seperti petani diperhatikan oleh Soeharto, berbeda seperti sekarang yang justru rakyat kecil selalu dipinggirkan.


Fakta Kedua
Pada tahun 1991 partai FIS di Aljazair memenangkan 188 kursi dari 231 melalui proses pemilu yang berjalan demokratis. Namun, apa yang terjadi? Partai Islam yang memperjuangkan syariah Islam ini justru dijegal dan hasil pemilu tersebut dianulir oleh militer yang direstui oleh Perancis, bahkan para militer menangkapi anggota partai ini. Hingga akhirnya FIS menjadi partai terlarang di Aljazair.

Sama halnya dengan HAMAS di Palestina yang sekian lama berjuang di luar parlemen mencoba untuk masuk kedalam sistem demokrasi. Hasilnya adalah, ketika melalui proses pemilu yang demokratis HAMAS memenangkan pemilu dengan hasil bulat dan mayoritas, namun saat itu AS dan Israel tidak menginginkan hal tersebut dengan segera hasil pemilu itu dianulir. Akhirnya, partai FATAH pimpinan Mahmoud Abbas lah yang menjadi pemimpin Palestina.

Hal ini kembali menimbulkan tanda tanya besar, benarkah demokrasi itu baik dan dapat mensejahterakan rakyat? Sementara kita semua tahu HAMAS adalah partai yang berjuang untuk membebaskan Palestina dari penjajah Laknatullah Israel, namun ketika ia memenangkan pemilu apa yang terjadi?

Hal itu semua sangat tidak sesuai dengan jargon demokrasi itu sendiri yang dikatakan kedaulatan rakyat. Siapakah yang sebenarnya berkuasa dalam sistem demokrasi? Rakyat atau orang-orang kaya yang memiliki kepentingan? Hal itu dapat dilihat dengan mata telanjang, gamblang dan sangat jelas terbuka.
  
Lima tahun setelah partai FIS dinyatakan terlarang, di Turki partai Refah memenangkan pemilu dan berhasil duduk di parlemen dan memerintah dengan perdana menterinya Najmuddin Erbakan. Namun, satu tahun berjalan, pemerintahannya digulingkan oleh militer karena mereka menganggap partai ini memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi Turki yang sekuler. Pada tahun 1998 Mahkamah Agung Turki menyatakan bahwa partai Refah adalah partai terlarang.
 


Satu pertanyaan besar, dimana demokrasi itu? Jargon demokrasi suara mayoritas terbukti hanyalah kedustaan dan ilusi besar yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Sebab fakta menunjukkan sebaliknya, demokrasi hanya menjadi alat penjajahan bagi sekelompok orang yang memiliki kepentingan. Benarlah apa yang dikatakan seorang pengamat, bahwa dalam demokrasi tidak ada sahabat dan musuh abadi tetapi yang ada hanya kepentingan abadi.


Fakta Ketiga
Menurut artinya, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. (Apakah Demokrasi Itu? United States Information Agency, hlm. 4). Namun, benarkah realitanya seperti itu?

Faktanya, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara demokrasi seperti AS dan Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Para kapitalis raksasa inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan atau lembaga-lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Kaum kapitalis pula lah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Wajar kalau mereka memiliki pengaruh besar terhadap para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di Inggris, sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsawan aristokrat.

Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clefrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam faktanya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital).

Kritik yang sama muncul dari C. Wright Mills yang memfokuskan penelitiannya pada persoalan elit politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat bahwa walaupun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian. Mereka pun datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah tersebut, yang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama. Memang, secara ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi, dalam kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok tertentu.

Pendukung demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya tidaklah begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh selompok orang yang berkuasa, yang memiliki modal besar, kelompok berpengaruh dari keluarga bangsawan, atau dari militer.

Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak aneh, karena dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki modal yang besar untuk mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan pengusaha kaya, dia akan dicalonkan atau disponsori oleh para pengusaha kaya, sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa disebut hampir mustahil, kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen kalau tidak memiliki modal.

Karena itu, keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak pemilik modal besar tersebut. Dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman Sam tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar setelah Saudi Arabia.

Dalam sejarah Inggris, PM Anthony Eden, misalnya, bahkan pernah mengumumkan perang terhadap Mesir dalam Krisis Suez tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen. Demikian juga serangan AS terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan, Sudan, Libya, Somalia; sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota parlemen. Dalam pembuatan UU, sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas menngesahkan rancangan UU yang dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana menteri).

Memang, dalam kenyataannya, sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adalah cerminan suara rakyat’ hanyalah mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar dilaksakan, setiap kali parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan, mereka bertanya dulu kepada rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja, cara seperti ini sangat sulit, untuk tidak dikatakan utopis. Apalagi, kalau negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat besar seperti AS dan Indonesia.

Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini, selain keliru, juga utopis. Pada prakteknya, tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.

Fakta Keempat
Bagi para pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau akan menghancurkan sistem demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.
Sebenarnya dalam sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun curangnya, pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang membolehkan kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak. Padahal dalam kenyataannya, sistem demokrasi pun memberikan batasan tentang kebebasan berpendapat ini.

Tidak mengherankan kalau negara yang dikenal ‘demokratis’, bahkan mahagurunya demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Perancis dan beberapa negara lainya di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya atas nama sekularisme (yang merupakan asas dari sistem demokrasi).
Atas nama perang melawan terorisme, kebebasan media masa dihambat, baik oleh negara ataupun oleh kesadaran media itu sendiri. Terbukti, banyak berita yang diplintir untuk kepentingan AS dalam Perang Irak, sementara berita yang dianggap mengancam kepentingan AS disensor. Larangan terhadap stasiun Aljazeera di Irak oleh pemerintah sementara Irak bentukan AS (jadi pasti di bawah tekanan AS) merupakan praktek lain dari kebohongan kebebasan demokrasi.


Tidak adanya relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa negara Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina, ternyata bukanlah negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam penderitaan. Indonesia, yang sering dipuji lebih demokratis pada masa reformasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Sebaliknya, banyak negara yang dikenal tidak demokratis justru kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, atau Brunei. Di sini jelas, demokrasi bukanlah faktor kunci sejahtera-tidaknya sebuah negara.
 
Fakta Kelima
Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi. Namun, apa kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktekkan oleh negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka Barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, Dunia Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah,
Dunia Ketiga semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan. 

Kemiskinan terbesar ada di negara-negara Afrika (Sebaliknya, pada saat yang sama penduduk negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal, sebenarnya hanya diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli parfum mereka (Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde Diplomatique, November 1998). Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak lain adalah sistem Kapitalisme internasional yang dipraktekkan saat ini oleh negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di dunia.

Sementara itu, kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan karena faktor demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab, sudah merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di dunia. Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat berbagai cara seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian utang, standarisasi mata uang dolar, dan mekanisme perampokan lainnya.

Demokrasi sering dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan penjajahan ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk dieksploitasi sering dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM. Itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh mereka untuk menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau memboikot ekonominya. Lihat saja bagaimana Irak yang kaya dengan minyak dijajah oleh AS dengan alasan demokratisasi. Beberapa negara, seperti Cina, sering dikenakan sanksi ekonomi, juga dengan memunculkan alasan melanggar demokrasi dan HAM. Sebaliknya, negara-negara yang jelas-jelas tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain tetap dipelihara oleh AS. Sebab, AS mempunyai kepentingan minyak di negara-negara tersebut.
 



0 komentar:

Posting Komentar