Demokrasi, sebuah kata yang sudah tak asing lagi ditelinga kita semua, dimana dalam demokrasi orang mendapat hak yang sama dan diperlakukan secara adil dan setara tanpa memandang ras dan agama ataupun pendidikan. Namun benarkah seperti itu?
10 Fakta berikut ini mengungkap kebohongan itu semua
Fakta Pertama
Masih
segar dalam ingatan kasus Semanggi Mei 1998 yang lalu, ketika semua orang
menuntut presiden Soeharto untuk turun setelah lebih dari 30 tahun berkuasa.
Saat itu, mahasiswa turun kejalan dan menduduki gedung MPR DPR, pemerintah
dibuat bingung dan kewalahan dengan aksi massa yang tidak terkendali. Saat itu,
ada yang disebut dengan penembak misterius yang secara membabi buta menembaki
para mahasiswa yang sedang mengamuk. Saat itu dengung reformasi dalam segala
hal terus menggema disegala bidang. Akhirnya berakhir lah masa pemerintahan
ORBA dan beralih kepada masa reformasi.
Tahun
1999 partai lokomotif reformasi dibawah kepemimpinan Amin Rais berada diatas
angin dan menjadi pemimpin reformasi yang saat itu tengah bergema. Namun hasil
pemilu saat itu berkata lain, partai yang terdepan menyuarakan reformasi ini
tidak memenangkan pemilu. Partai pemenang pemilu justru partai yang citra
reformasinya tidak terlalu kental dibandingkan partai yang dikomandoi oleh Amin
Rais. Salah satu sebabnya adalah keuangan yang mereka miliki tidak sebanyak
partai yang lain yang lebih banyak.
Hal
ini tentu banyak menimbulkan pertanyaan, apakah demokrasi itu benar-benar
keinginan luhur rakyat yang harus dipenuhi oleh para wakil rakyat? Sebab, setelah
lebih dari 10 tahun era reformasi ini berjalan sebagian besar masyarakat
Indonesia justru merasa hidup lebih baik di era ORBA.
Agung
(samaran) seorang pedagang kecil di daerah Jakarta mengaku bahwa hidup di era
Soeharto masih lebih baik ketimbang sekarang. Saat itu, harga-harga murah dan
terjangkau bahkan sampai swasembada beras. Nasib rakyat kecil seperti petani
diperhatikan oleh Soeharto, berbeda seperti sekarang yang justru rakyat kecil
selalu dipinggirkan.
Fakta Kedua
Pada
tahun 1991 partai FIS di Aljazair memenangkan 188 kursi dari 231 melalui proses
pemilu yang berjalan demokratis. Namun, apa yang terjadi? Partai Islam yang
memperjuangkan syariah Islam ini justru dijegal dan hasil pemilu tersebut
dianulir oleh militer yang direstui oleh Perancis, bahkan para militer
menangkapi anggota partai ini. Hingga akhirnya FIS menjadi partai terlarang di
Aljazair.
Sama
halnya dengan HAMAS di Palestina yang sekian lama berjuang di luar parlemen
mencoba untuk masuk kedalam sistem demokrasi. Hasilnya adalah, ketika melalui
proses pemilu yang demokratis HAMAS memenangkan pemilu dengan hasil bulat dan
mayoritas, namun saat itu AS dan Israel tidak menginginkan hal tersebut dengan
segera hasil pemilu itu dianulir. Akhirnya, partai FATAH pimpinan Mahmoud Abbas
lah yang menjadi pemimpin Palestina.
Hal
ini kembali menimbulkan tanda tanya besar, benarkah demokrasi itu baik dan
dapat mensejahterakan rakyat? Sementara kita semua tahu HAMAS adalah partai
yang berjuang untuk membebaskan Palestina dari penjajah Laknatullah Israel,
namun ketika ia memenangkan pemilu apa yang terjadi?
Hal
itu semua sangat tidak sesuai dengan jargon demokrasi itu sendiri yang
dikatakan kedaulatan rakyat. Siapakah yang sebenarnya berkuasa dalam sistem
demokrasi? Rakyat atau orang-orang kaya yang memiliki kepentingan? Hal itu
dapat dilihat dengan mata telanjang, gamblang dan sangat jelas terbuka.
Lima
tahun setelah partai FIS dinyatakan terlarang, di Turki partai Refah
memenangkan pemilu dan berhasil duduk di parlemen dan memerintah dengan perdana
menterinya Najmuddin Erbakan. Namun, satu tahun berjalan, pemerintahannya
digulingkan oleh militer karena mereka menganggap partai ini memiliki agenda
Islam yang bertentangan dengan konstitusi Turki yang sekuler. Pada tahun 1998
Mahkamah Agung Turki menyatakan bahwa partai Refah adalah partai terlarang.
Satu
pertanyaan besar, dimana demokrasi itu? Jargon demokrasi suara mayoritas
terbukti hanyalah kedustaan dan ilusi besar yang tidak akan pernah menjadi
kenyataan. Sebab fakta menunjukkan sebaliknya, demokrasi hanya menjadi alat
penjajahan bagi sekelompok orang yang memiliki kepentingan. Benarlah apa yang
dikatakan seorang pengamat, bahwa dalam demokrasi tidak ada sahabat dan musuh
abadi tetapi yang ada hanya kepentingan abadi.
Fakta Ketiga
Menurut artinya, demokrasi adalah
pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan
dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah
sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan pemerintahan
“dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. (Apakah Demokrasi Itu? United
States Information Agency, hlm. 4). Namun, benarkah realitanya
seperti itu?
Faktanya, para kepala negara dan anggota
parlemen di negara-negara demokrasi seperti AS dan Inggris sebenarnya mewakili
kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Para kapitalis raksasa
inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan atau
lembaga-lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka dapat merealisasikan
kepentingan kaum kapitalis tersebut. Kaum kapitalis pula lah yang membiayai
para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan presiden dan anggota
parlemen. Wajar kalau mereka memiliki pengaruh besar terhadap para politisi
baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di Inggris, sebagian besar
anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan
bangsawan aristokrat.
Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca,
Clefrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng
ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam faktanya, yang
berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di
Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang
menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama
dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital).
Kritik yang sama muncul dari C. Wright Mills
yang memfokuskan penelitiannya pada persoalan elit politik. Berdasarkan
penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat bahwa walaupun pemilu
dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu datang dari
kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut
yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian.
Mereka pun datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah tersebut, yang
mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama. Memang, secara
ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan
negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi, dalam
kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok tertentu.
Pendukung demokrasi sangat bangga dengan
menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap keputusan yang diambil adalah suara
mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya tidaklah begitu. Tetap saja keputusan
diambil oleh selompok orang yang berkuasa, yang memiliki modal besar, kelompok
berpengaruh dari keluarga bangsawan, atau dari militer.
Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik
modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, bukan
rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak mempengaruhi pengambilan
keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak aneh, karena dalam sistem
kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki modal yang besar untuk
mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan pengusaha kaya, dia akan
dicalonkan atau disponsori oleh para pengusaha kaya, sehingga politik uang
sangat sering terjadi. Bisa disebut hampir mustahil, kalau ada orang bisa
mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen kalau tidak memiliki
modal.
Karena itu, keputusan yang diambil oleh
parlemen pastilah sangat memihak pemilik modal besar tersebut. Dilegalisasinya
serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman Sam tersebut tidak bisa
dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS terhadap
Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar setelah Saudi Arabia.
Dalam sejarah Inggris, PM Anthony Eden,
misalnya, bahkan pernah mengumumkan perang terhadap Mesir dalam Krisis Suez
tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen. Demikian juga serangan AS
terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan, Sudan, Libya, Somalia;
sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota parlemen. Dalam pembuatan UU,
sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas menngesahkan rancangan UU yang
dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana menteri).
Memang, dalam kenyataannya, sulit untuk
membuat keputusan dengan terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat. Bisa
disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adalah cerminan suara rakyat’ hanyalah
mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar dilaksakan, setiap kali
parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan, mereka bertanya dulu
kepada rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja, cara seperti ini sangat
sulit, untuk tidak dikatakan utopis. Apalagi, kalau negara tersebut memiliki
jumlah penduduk yang sangat besar seperti AS dan Indonesia.
Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang
terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini, selain keliru, juga utopis.
Pada prakteknya, tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang
menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal
kuat atau pengendali kekuatan militer.
Fakta
Keempat
Bagi para pendukung demokrasi,
kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai unggul dan luhur dari
demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara
demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya,
pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau akan
menghancurkan sistem demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai
politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan demokrasi. Kalau tidak,
mereka tetap saja dilarang.
Sebenarnya
dalam sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang
tidak boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun
curangnya, pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang
membolehkan kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak.
Padahal dalam kenyataannya, sistem demokrasi pun memberikan batasan tentang
kebebasan berpendapat ini.
Tidak
mengherankan kalau negara yang dikenal ‘demokratis’, bahkan mahagurunya
demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Perancis dan beberapa
negara lainya di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya
atas nama sekularisme (yang merupakan asas dari sistem demokrasi).
Atas nama
perang melawan terorisme, kebebasan media masa dihambat, baik oleh negara
ataupun oleh kesadaran media itu sendiri. Terbukti, banyak berita yang
diplintir untuk kepentingan AS dalam Perang Irak, sementara berita yang
dianggap mengancam kepentingan AS disensor. Larangan terhadap stasiun Aljazeera
di Irak oleh pemerintah sementara Irak bentukan AS (jadi pasti di bawah tekanan
AS) merupakan praktek lain dari kebohongan kebebasan demokrasi.
Tidak adanya
relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa negara
Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina,
ternyata bukanlah negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam
penderitaan. Indonesia, yang sering dipuji lebih demokratis pada masa
reformasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Sebaliknya, banyak
negara yang dikenal tidak demokratis justru kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait,
Bahrain, atau Brunei. Di sini jelas, demokrasi bukanlah faktor kunci
sejahtera-tidaknya sebuah negara.
Fakta Kelima
Banyak penganut
sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia.
Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga
supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi. Namun, apa
kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktekkan oleh negara-negara kapitalis
hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka Barat yang
menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, Dunia
Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan
oleh negara-negara kapitalis penjajah,
Dunia Ketiga
semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada
2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2
detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan.
Kemiskinan
terbesar ada di negara-negara Afrika (Sebaliknya, pada saat yang sama penduduk
negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal, sebenarnya hanya
diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan
sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan
dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli
parfum mereka (Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde
Diplomatique, November 1998). Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak
lain adalah sistem Kapitalisme internasional yang dipraktekkan saat ini oleh
negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di dunia.
Sementara itu,
kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan karena faktor
demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab, sudah
merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi
kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di
dunia. Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat
berbagai cara seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian
utang, standarisasi mata uang dolar, dan mekanisme perampokan lainnya.
Demokrasi
sering dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan penjajahan
ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk
dieksploitasi sering dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM. Itulah yang
kemudian dijadikan alasan oleh mereka untuk menyerang negara tersebut,
mengintervensinya, atau memboikot ekonominya. Lihat saja bagaimana Irak yang
kaya dengan minyak dijajah oleh AS dengan alasan demokratisasi. Beberapa
negara, seperti Cina, sering dikenakan sanksi ekonomi, juga dengan memunculkan
alasan melanggar demokrasi dan HAM. Sebaliknya, negara-negara yang jelas-jelas
tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain tetap dipelihara
oleh AS. Sebab, AS mempunyai kepentingan minyak di negara-negara tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar