Fakta
Keenam
Mitos lain
adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi
justru sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak
konflik di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi
bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika
pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan
kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar
pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya.
Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing. Bersamaan
dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai
penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia.
Masa reformasi
ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur
(yang kemudian lepas), Aceh,Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar
dipicu oleh isu keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan
kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari asas
kebebasan—sebagai pilar utama demokrasi.
Pemilihan
kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari
demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh Presiden.
Atas nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih oleh DPRD
masing-masing, yang kemudian menyulut berbagai konflik horisontal antar
masyarakat.
Hal yang sama
tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain. Demokrasi
kemudian memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku, kelompok.
Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia,
sebelumnya diyakini sebagai cahaya terang demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi
menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga kini, dengan korban manusia yang
tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi, masing-masing dengan alasan
yang sama: kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita membicarakan
korban-korban perang atas nama demokrasi yang disulut oleh negara AS. Apa yang
terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. Tawaran demokrasi AS ternyata
menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama
demokrasi ini telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia. Inikah yang disebut
dengan stabilitas?
Fakta Ketujuh
Pidato Bush
yang menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan
(jumud)—seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem
demokrasi atau tidak—patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan,
demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan.
Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom
(kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom
of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem
demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak harus diperjuangkan.
Benarkah dengan
kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak sesederhana
itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan
teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang
angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.
Jadi,
persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat
itu memiliki kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif
sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi
(mabda’) tertentu. Jadi, lepas sahih atau tidak, ideologi yang dianut
oleh suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas berpikir bangsa
tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin
memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan
menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktif.
Fakta Kedelapan
Banyak pihak berharap, demokrasi akan mampu memberikan
kesejahteraan bagi rakyat, berdasarkan asumsi bahwa semakin demokratis, rakyat
akan kian sejahtera. Berbagai model demokrasi pun dicoba. Mulai dari Demokrasi
Terpimpin ala Soekarno, Demokrasi Pancasila ala Soeharto, demokrasi ala
Habibie, hingga demokrasi liberal ala reformasi. Namun, hasil yang diharapkan
tak kunjung tiba. Rakyat tetap saja tidak menikmati buah berdemokrasi selain
hanya pesta demokrasi.
Terbukti, 60 tahun Indonesia merdeka lebih dari 30 persen
penduduk Indonesia tidak memiliki jamban. Lebih dari 100 juta penduduk belum
memiliki akses air minum yang layak. Angka kemiskinan berada pada angka sekitar
17 persen jika menggunakan standar nasional. Namun, jika standar yang digunakan
adalah Bank Dunia, lebih banyak lagi warga negara Indonesia yang miskin.
Kenyataan seperti ini tidak hanya dijumpai di Indonesia, tetapi juga di negara
lain seperti India yang jauh lebih dulu mencoba berdemokrasi. Bahkan di Amerika
sendiri, pemerintahnya tak mampu menghilangkan kemiskinan ini. Malah tahun ini
jumlahnya akan meningkat akibat krisis ekonomi.
Alfian, dalam tulisannya berjudul ’Defisiensi Demokrasi’
(2000), menyebut demokrasi yang dikejar sangat mudah menjurus pada defisiensi
demokrasi; proses transisi tersebut pada akhirnya menghalangi reformasi
ekonomi. Bahkan reformasi ekonomi itu cenderung dimanipulasi oleh elit penguasa
dan akhirnya menjebak proses transisi menjadi lahirnya otoritarianisme baru.
Proses demokrasi justru mampu menyedot potensi ekonomi yang seharusnya dapat
dimanfaatkan untuk keperluan lebih luas, hanya demi ongkos politik. Menarik
kiranya mengutip pernyataan Samuel Hutington (1996), bahwa demokrasi tidak
selalu merupakan pilihan terbaik karena ia dapat menimbulkan inefisiensi dan
ketidakpastian.
Para pengamat politik menilai biaya Pemilu tahun ini terlalu
besar. Jika ditotal, penyelenggaraan Pemilu dan biaya yang dikeluarkan oleh
partai politik dan calegnya, angkanya bisa mencapai Rp 50 triliun. Ini hampir
sama dengan anggaran untuk mengatasi kemiskinan yang berjumlah sekitar Rp 57
triliun. Padahal rakyat tidak merasakan langsung dana yang besar itu. Lagi-lagi
yang diuntungkan para pengusaha, bukan rakyat jelata.
Tak mengherankan, jika krisis ekonomi di Indonesia tidak
kunjung usai setelah 10 tahun berlalu. Ironisnya, di tengah keterpurukan
ekonomi seperti ini banyak berseliweran mobil-mobil mewah dan pembangunan
gedung-gedung megah. Mereka inilah kelompok yang diuntungkan dalam demokrasi
sekarang. Ingat, bahwa demokrasi adalah sarana bagi liberalisasi perdagangan
menancapkan kukunya di negara-negara berkembang.
Fakta Kesembilan
Menteri
perekonomian Hatta Radjasa mengatakan bahwa kenaikan TDL hampir pasti sebab
telah diputuskan sesuai dengan APBN 2010 sebesar 10% yang direncanakan berlaku mulai tanggal 2 Juli
2010.
Sementara
diluar gedung DPR, banyak masyarakat yang menolak kenaikan TDL tersebut, beberapa organisasi mahasiswa langsung turun
kejalan menyuarakan suara rakyat kecil. Salah seorang warga yang menolak
disebut namanya menuturkan bahwa rencana kenaikan TDL ini terasa sangat
memberatkan dirinya. Tidak hanya dirinya, namun juga masyarakat dengan tingkat
ekonomi kebawah.
Warga Gorontalo
sebagaimana dikutip oleh situs berita antaranews.com dengan terang-terangan dan
tegas menolak rencana kenaikan TDL tersebut. Seorang warga mengatakan,
"Saya pribadi tak percaya lagi dengan PLN. TDL mau naik, tapi pelayanan
mereka tak ditingkatkan dan sangat tidak profesional".
Sebelumnya
sempat beredar isyu bahwa listrik akan gratis, namun hal tersebut dibantah oleh
menteri energi dan sumber daya mineral Darwin Saleh di Jakarta. Menurutnya,
sekarang ini ada sekitar 18 juta keluarga miskin yang belum menikmati jaringan
listrik, sehingga akan menyebabkan ketidakadilan bagi yang belum mendapat
layanan PLN. (berita.liputan6.com)
Bisnis Ritel
pun menyesalkan dengan adanya kenaikan TDL tersebut. Koordinator Lintas
Asosiasi Nasional, Franky Sibarani, mengatakan kenaikan TDL menyebabkan
pedagang harus menaikkan biaya pelayanan untuk mengompensasikan beban ke
konsumen. ''Karena hingga 60 persen service charge adalah dari ongkos
penggunaan listrik,'' jelasnya seperti dikutip oleh situs berita republika.co.id.
Masih seperti
dikutip oleh situs berita republika.co.id Franky menegaskan hingga saat ini,
ada sebanyak 36 asosiasi dari berbagai sektor perdagangan, jasa, dan manufaktur
nasional bergabung mengajukan petisi menolak TDL. Di antaranya yang baru
bergabung adalah asosiasi hotel dan restoran (PHRI) dan pemasok (AP3MI).
''Perdagangan di dalam negeri jadi tidak kompetitif,'' tegasnya.
(republika.co.id)
Akibat yang
pasti dari kenaikan TDL ini sudah tentu masyarakat dengan tingkat ekonomi
rendah yang paling terbebani. Apakah mereka akan menolak? Sudah pasti mereka
pasti menolak kenaikan tersebut. Sebab secara tidak langsung akan berpengaruh
pula pada kenaikan harga-harga.
Sebab para
produsen harus menaikan harga barang sebagai kompensasi dari kenaikan listrik
tersebut. Hal ini tentu sangat memberatkan rakyat dengan ekonomi rendah, namun
apakah pemerintah peduli akan hal tersebut? Tidak dan sekali lagi tidak!
Sekalipun
mereka berdalih bahwa kenaikan tersebut hanya untuk listrik yang berada diatas
900A. Namun hal tersebut tetap berpengaruh pada biaya produksi yang
mengakibatkan kenaikan harga-harga barang pokok.
Hal ini
membuktikan bahwa sebenarnya yang berkuasa dan berdaulat bukanlah rakyat
sebagaimana jargon demokrasi yang selama ini didengungkan. Slogan demokrasi
yang selama ini kekuasaan berada ditangan rakyat sebenarnya hanya sebuah ilusi
dan kedustaan besar-besaran agar melanggengkan kekuasaan yang dipegang oleh
kaum borjuis. Bahkan perdana menteri Britania Raya Winston Churcill mengatakan
bahwa demokrasi merupakan kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan.
Fakta Kesepuluh
Pada 15 Juni
2010 salah satu partai mengajukan pengadaan “Dana Aspirasi” setiap anggota DPR
RI mendapat jatah Rp.15 milyard per daerah pemilihan. Hal yang sungguh diluar
batas, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang tengah terpuruk. Walaupun
begitu, beberapa anggota DPR tidak menyetujui dan sebagian menyetujuinya.
Kasus-kasus
yang hingga sekarang tidak terpecahkan dan seolah menggantung diantaranya
sebagai berikut:
1.
Kasus Soeharto Bekas presiden
Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti
Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan
Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit.
Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas
tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke
pengadilan jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak
kalangan.
2.
Dugaan korupsi dalam Tecnical
Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG)
tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko,
Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8
juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru,
Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal
Abda’oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
3.
Kasus Proyek Kilang Minyak
Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang
pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya
sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996
sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun.
4.
Kasus kilang Balongan merupakan
benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam
kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak
bernama Exor I tersebut. Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak
(BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal
Abda’oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian
negara hingga US$ 31,4 juta.
5.
Tahun 1993, pembobolan yang
terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang
hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3
Triliun.
6.
Kasus HPH dan Dana Reboisasi
Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana
reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025
triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus
tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen
Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
7.
Prajogo Pangestu diseret
sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri
(HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam
pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto,
membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini
tak jelas kelanjutannya.
8.
Kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa
Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut
adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana
senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan
penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
9.
Bekas Gubernur Bank Indonesia
Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI.
Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI? Hendrobudiyanto,
Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga,
dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para
pengamat.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang
terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain:
Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra
Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono
(Bank Modern). Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam
proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke
pengadilan hanya enam kasus.
10.
Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam
pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar.
Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi
Pemberantasan Korupsi. (Pusat Data dan
Analisa Tempo, Fitrio – Tempo Arti Korupsi dalam KamusHukum.com.)
Dengan berbagai
macam kasus korupsi yang hingga sekarang masih terkesan menggantung tentu
banyak kalangan mempertanyakan, dimana penegakkan hukum tersebut?. Sebelumnya diatas telah dijelaskan
bahwa segala sumber masalah yang terjadi adalah akibat dari penerapan sistem
yang salah yaitu demokrasi.
Berbagai fakta
tersebut hanyalah sedikit dari sekian kasus yang terjadi di Indonesia yang
hingga sekarang belum juga terselesaikan. Pada bagian akhir dari bab ini ada
satu pertanyaan yang harus direnungkan dan dijawab dengan jujur. Apakah sistem
sekarang merupakan sistem yang terbaik?
0 komentar:
Posting Komentar