Selasa, 25 Februari 2014 | By: Tuxedo Kamen

10 Fakta Kerusakan dan Kebohongan Demokrasi Part 2



Fakta Keenam
Mitos lain adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya. Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing. Bersamaan dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. 


Masa reformasi ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur (yang kemudian lepas), Aceh,Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh isu keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari asas kebebasan—sebagai pilar utama demokrasi.

Pemilihan kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh Presiden. Atas nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih oleh DPRD masing-masing, yang kemudian menyulut berbagai konflik horisontal antar masyarakat.

Hal yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain. Demokrasi kemudian memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku, kelompok. Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia, sebelumnya diyakini sebagai cahaya terang demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga kini, dengan korban manusia yang tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi, masing-masing dengan alasan yang sama: kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita membicarakan korban-korban perang atas nama demokrasi yang disulut oleh negara AS. Apa yang terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. Tawaran demokrasi AS ternyata menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama demokrasi ini telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia. Inikah yang disebut dengan stabilitas?


Fakta Ketujuh
Pidato Bush yang menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan (jumud)—seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem demokrasi atau tidak—patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan, demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom (kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak harus diperjuangkan.

Benarkah dengan kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.

Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi (mabda’) tertentu. Jadi, lepas sahih atau tidak, ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas berpikir bangsa tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktif.


Fakta Kedelapan
Banyak pihak berharap, demokrasi akan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat, berdasarkan asumsi bahwa semakin demokratis, rakyat akan kian sejahtera. Berbagai model demokrasi pun dicoba. Mulai dari Demokrasi Terpimpin ala Soekarno, Demokrasi Pancasila ala Soeharto, demokrasi ala Habibie, hingga demokrasi liberal ala reformasi. Namun, hasil yang diharapkan tak kunjung tiba. Rakyat tetap saja tidak menikmati buah berdemokrasi selain hanya pesta demokrasi.

Terbukti, 60 tahun Indonesia merdeka lebih dari 30 persen penduduk Indonesia tidak memiliki jamban. Lebih dari 100 juta penduduk belum memiliki akses air minum yang layak. Angka kemiskinan berada pada angka sekitar 17 persen jika menggunakan standar nasional. Namun, jika standar yang digunakan adalah Bank Dunia, lebih banyak lagi warga negara Indonesia yang miskin. Kenyataan seperti ini tidak hanya dijumpai di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti India yang jauh lebih dulu mencoba berdemokrasi. Bahkan di Amerika sendiri, pemerintahnya tak mampu menghilangkan kemiskinan ini. Malah tahun ini jumlahnya akan meningkat akibat krisis ekonomi.

Alfian, dalam tulisannya berjudul ’Defisiensi Demokrasi’ (2000), menyebut demokrasi yang dikejar sangat mudah menjurus pada defisiensi demokrasi; proses transisi tersebut pada akhirnya menghalangi reformasi ekonomi. Bahkan reformasi ekonomi itu cenderung dimanipulasi oleh elit penguasa dan akhirnya menjebak proses transisi menjadi lahirnya otoritarianisme baru. Proses demokrasi justru mampu menyedot potensi ekonomi yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan lebih luas, hanya demi ongkos politik. Menarik kiranya mengutip pernyataan Samuel Hutington (1996), bahwa demokrasi tidak selalu merupakan pilihan terbaik karena ia dapat menimbulkan inefisiensi dan ketidakpastian.

Para pengamat politik menilai biaya Pemilu tahun ini terlalu besar. Jika ditotal, penyelenggaraan Pemilu dan biaya yang dikeluarkan oleh partai politik dan calegnya, angkanya bisa mencapai Rp 50 triliun. Ini hampir sama dengan anggaran untuk mengatasi kemiskinan yang berjumlah sekitar Rp 57 triliun. Padahal rakyat tidak merasakan langsung dana yang besar itu. Lagi-lagi yang diuntungkan para pengusaha, bukan rakyat jelata.

Tak mengherankan, jika krisis ekonomi di Indonesia tidak kunjung usai setelah 10 tahun berlalu. Ironisnya, di tengah keterpurukan ekonomi seperti ini banyak berseliweran mobil-mobil mewah dan pembangunan gedung-gedung megah. Mereka inilah kelompok yang diuntungkan dalam demokrasi sekarang. Ingat, bahwa demokrasi adalah sarana bagi liberalisasi perdagangan menancapkan kukunya di negara-negara berkembang.
 

Fakta Kesembilan
Menteri perekonomian Hatta Radjasa mengatakan bahwa kenaikan TDL hampir pasti sebab telah diputuskan sesuai dengan APBN 2010 sebesar 10%  yang direncanakan berlaku mulai tanggal 2 Juli 2010.
Sementara diluar gedung DPR, banyak masyarakat yang menolak kenaikan TDL tersebut,  beberapa organisasi mahasiswa langsung turun kejalan menyuarakan suara rakyat kecil. Salah seorang warga yang menolak disebut namanya menuturkan bahwa rencana kenaikan TDL ini terasa sangat memberatkan dirinya. Tidak hanya dirinya, namun juga masyarakat dengan tingkat ekonomi kebawah.

Warga Gorontalo sebagaimana dikutip oleh situs berita antaranews.com dengan terang-terangan dan tegas menolak rencana kenaikan TDL tersebut. Seorang warga mengatakan, "Saya pribadi tak percaya lagi dengan PLN. TDL mau naik, tapi pelayanan mereka tak ditingkatkan dan sangat tidak profesional".
Sebelumnya sempat beredar isyu bahwa listrik akan gratis, namun hal tersebut dibantah oleh menteri energi dan sumber daya mineral Darwin Saleh di Jakarta. Menurutnya, sekarang ini ada sekitar 18 juta keluarga miskin yang belum menikmati jaringan listrik, sehingga akan menyebabkan ketidakadilan bagi yang belum mendapat layanan PLN. (berita.liputan6.com)

Bisnis Ritel pun menyesalkan dengan adanya kenaikan TDL tersebut. Koordinator Lintas Asosiasi Nasional, Franky Sibarani, mengatakan kenaikan TDL menyebabkan pedagang harus menaikkan biaya pelayanan untuk mengompensasikan beban ke konsumen. ''Karena hingga 60 persen service charge adalah dari ongkos penggunaan listrik,'' jelasnya seperti dikutip oleh situs berita republika.co.id.

Masih seperti dikutip oleh situs berita republika.co.id Franky menegaskan hingga saat ini, ada sebanyak 36 asosiasi dari berbagai sektor perdagangan, jasa, dan manufaktur nasional bergabung mengajukan petisi menolak TDL. Di antaranya yang baru bergabung adalah asosiasi hotel dan restoran (PHRI) dan pemasok (AP3MI). ''Perdagangan di dalam negeri jadi tidak kompetitif,'' tegasnya. (republika.co.id)

Akibat yang pasti dari kenaikan TDL ini sudah tentu masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah yang paling terbebani. Apakah mereka akan menolak? Sudah pasti mereka pasti menolak kenaikan tersebut. Sebab secara tidak langsung akan berpengaruh pula pada kenaikan harga-harga.

Sebab para produsen harus menaikan harga barang sebagai kompensasi dari kenaikan listrik tersebut. Hal ini tentu sangat memberatkan rakyat dengan ekonomi rendah, namun apakah pemerintah peduli akan hal tersebut? Tidak dan sekali lagi tidak!

Sekalipun mereka berdalih bahwa kenaikan tersebut hanya untuk listrik yang berada diatas 900A. Namun hal tersebut tetap berpengaruh pada biaya produksi yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang pokok.

Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya yang berkuasa dan berdaulat bukanlah rakyat sebagaimana jargon demokrasi yang selama ini didengungkan. Slogan demokrasi yang selama ini kekuasaan berada ditangan rakyat sebenarnya hanya sebuah ilusi dan kedustaan besar-besaran agar melanggengkan kekuasaan yang dipegang oleh kaum borjuis. Bahkan perdana menteri Britania Raya Winston Churcill mengatakan bahwa demokrasi merupakan kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan.


 
Fakta Kesepuluh
Pada 15 Juni 2010 salah satu partai mengajukan pengadaan “Dana Aspirasi” setiap anggota DPR RI mendapat jatah Rp.15 milyard per daerah pemilihan. Hal yang sungguh diluar batas, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang tengah terpuruk. Walaupun begitu, beberapa anggota DPR tidak menyetujui dan sebagian menyetujuinya.

Kasus-kasus yang hingga sekarang tidak terpecahkan dan seolah menggantung diantaranya sebagai berikut:

1.                  Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta  Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak kalangan.

2.                  Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.

3.                  Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun.

4.                  Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut. Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.

5.                  Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.

6.                  Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.

7.                  Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.

8.                  Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.

9.                  Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI? Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat.

Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus.

10.              Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar. Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi.  (Pusat Data dan Analisa Tempo, Fitrio – Tempo Arti Korupsi dalam KamusHukum.com.)

Dengan berbagai macam kasus korupsi yang hingga sekarang masih terkesan menggantung tentu banyak kalangan mempertanyakan, dimana penegakkan hukum  tersebut?. Sebelumnya diatas telah dijelaskan bahwa segala sumber masalah yang terjadi adalah akibat dari penerapan sistem yang salah yaitu demokrasi.
Berbagai fakta tersebut hanyalah sedikit dari sekian kasus yang terjadi di Indonesia yang hingga sekarang belum juga terselesaikan. Pada bagian akhir dari bab ini ada satu pertanyaan yang harus direnungkan dan dijawab dengan jujur. Apakah sistem sekarang merupakan sistem yang terbaik?


0 komentar:

Posting Komentar