Saya
pernah merasakan kehilangan seorang teman yang begitu dekat dalam hidup saya.
Ia menjadi inspirasi, sering memberi motivasi dan dengan kepolosan khas anak
SMP, ia menjadi teman akrab saya. Sayangnya, kebersamaan kami akhirnya
dipisahkan ketika sama-sama lulus SMP. Bahkan kami dipisahkan oleh jarak yang
cukup jauh. Saya melanjutkan studi di kota lain. Hari-hari pertama jauh
darinya, saya merasa kehilangan candanya, tawanya, dan gaya marahnya jika saya
guyonin. Saya memang cukup iseng kepadanya, bahkan tak jarang kami marahan.
Meski akhirnya baikan lagi. Ya begitulah anak-anak. Kami pasangan sahabat yang
sangat akrab waktu itu.
Untuk
mengobati kerinduan di antara kami, kami rajin saling berkirim surat. Hampir
setiap bulan surat darinya saya terima. Lengkap dengan kabar terbaru tentang dirinya
dan juga tentang kehidupannya. Begitupun yang saya kabarkan. Sampai suatu hari,
bukan surat darinya yang datang ke saya. Tapi surat dari adik saya yang
mengabarkan bahwa sahabat saya itu meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan saat
olahraga renang yang diadakan sekolahnya. Ia tenggelam dan akhirnya meninggal
dunia. Saya sangat terpukul. Benar-benar kehilangan. Innalillaahi wa inna
ilaihi roojiuun.
Ya,
itu kehilangan untuk kedua kalinya. Pertama, merasa kehilangan saat kami harus
berpisah karena masing-masing melanjutkan studi ke sekolah yang berbeda. Dan
kedua, ternyata kami harus berpisah dari dunia ini. Tentu, tak mungkin bisa
berkomunikasi lagi dengannya untuk menanyakan kabarnya.
Meski
saya sudah merasa paham bahwa kehidupan ini tidaklah abadi, tapi baru merasakan
pedihnya ketika kehilangan orang yang begitu dekat di hati. Ya, benar. Kita
memang tidak abadi. Kita suatu saat pasti menghembuskan nafas yang terakhir
dalam hidup kita. Menyusul teman dan saudara kita yang lain yang sudah lebih
dulu ‘hijrah’ dari dunia ini dan meninggalkan gemerlapnya.
Sobat
muda muslim, ini sekadar kisah pengantar tulisan sederhana ini. Bahwa apa yang
kita miliki bisa begitu saja meninggalkan kita. Harta yang kita miliki bisa
hilang. Begitu pun sahabat yang telah menemani hidup kita, bisa saja pergi
tanpa pesan meninggalkan kita dan dunia ini. Dan, suatu saat justru kita
sendiri yang akan meninggalkan teman-teman kita, saudara kita, dan indahnya
dunia ini. Bahkan, dunia ini pun akan berakhir dengan datangnya kiamat. Benar,
dunia dan seluruh isinya ini adalah fana, Bro. Nggak abadi.
Memang
benar bahwa kehidupan kita fana, dunia ini juga fana, tapi yang harus menjadi
perhatian kita dan kekhawatiran kita adalah: dengan cara apa kita meninggalkan
dunia ini? Pada saat seperti apa kita wafat? Dan, bekal amal apa yang kita bawa
untuk dibawa menghadap Allah Swt.? Amal baikkah, atau justru amal buruk?
Pilihan ada di tangan kita.
Pilihan?
Betul. Sebab keyakinan kita tentang akhir dunia dan kehidupan akhirat adalah
pilihan yang kita dapatkan setelah memahami hakikat penciptaan kita, alam
semesta, dan kehidupan ini. Begitu pula dengan amalan yang kita lakukan, adalah
atas dasar pilihan yang kita dapatkan setelah memahami hakikat dan tujuan kita
selama di dunia ini. Masing-masing kita membawa amal kita. Bukan amalan orang
lain.
Sobat,
kita berasal dari Allah Swt. dan akan kembali kepadaNya pada waktu yang telah
ditentukan. Nah, selama di dunia ini kita juga diminta untuk beribadah kepada
Allah Swt. Melaksanakan semua perintahNya dan nggak melakukan segala hal yang
memang dilarang Allah Swt. Ini memang sederhana secara teori, tapi jarang yang
bisa sukses dalam prakteknya. Semoga kita sih masuk ke dalam golongan
orang-orang yang beriman kepada Allah Swt. dan beramal sholeh untuk bekal kehidupan
setelah dunia ini. Amin.
Cinta
dunia? Sewajarnya saja
Mencintai
dunia boleh saja. Sebab, dunia adalah tempat tinggal kita saat ini yang
dipenuhi dengan segala gemerlap dan keindahan yang membuat kita terpesona. Tapi
jangan khawatir, kita boleh kok menikmatinya. Allah Swt. berfirman:
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS al-Qashash [28]: 77)
Sobat,
kalo kamu pengen nikmatin keindahan dunia, silakan aja. Nggak dilarang kok.
Ingin kaya? Monggo aja. Ingin mendapatkan status sosial yang tinggi
menurut ukuran dan pandangan manusia, juga boleh-boleh saja. Belajar jenjang
demi jenjang untuk mendapatkan ilmu dan gelar akademis, Islam pun tak pernah
membatasi. Silakan.
Cuma
nih, yang perlu dapet perhatian adalah jangan sampe kita terlalu silau dengan
gemerlap indahnya dunia, sehingga malah bikin kita lupa diri dan melupakan
Allah Swt. Kalo kita menikmati dunia bukan cuma yang halal, tapi yang haram pun
diembat juga, itu namanya kita udah lupa diri, Bro. Bener.
Ada
syair yang bagus dari sebuah nasyid yang mengingatkan agar kita tidak mudah
tertipu dengan gemerlap dunia dan segala perhiasannya yang membuat kita lalai
dan bahkan meninggalkan kewajiban. Begini sebagian lirik dari nasyid berjudul Fatamorgana
yang dipopulerkan oleh Hijaz yang berkolaborasi dengan In Team:
“...Deras
arus dunia, menghanyutkan yang terlena/indah fatamorgana melalaikan menipu
daya/dikejar dicintai bak bayangan tak bertepi/ tiada sudahnya dunia yang
dicari/Begitu indah dunia siapa pun kan tergoda/harta pangkat dan wanita
melemahkan jiwa/Tanpa iman dalam hati kita kan dikuasai/syaitan nafsu dalam
diri musuh yang tersembunyi/Pulanglah kepada Tuhan cahaya kehidupan/Keimanan,
ketakwaan kepadaNya senjata utama...”
Alangkah
lebih mengenanya jika tak sekadar membaca syairnya seperti ini. Coba deh
dengerin lagunya yang easy listening ini. Biasanya, nasyid seperti ini
memang bisa menggugah nafsiyah kita yang mungkin saja udah tertimbun begitu
banyak kesibukan dan urusan dunia lainnya.
Benar,
dunia begitu indah gemerlapnya. Tapi tak semua yang ditawarkan itu baik, bahkan
mungkin adalah jebakan untuk tergoda mencicipi kemaksiatan yang dikemas dengan
manis dan menarik. Minuman keras, perzinahan, judi dan sejenisnya, menurut hawa
nafsu manusia memang menyenangkan. Tapi, karena semua perbuatan itu dilarang
oleh Allah Swt., maka hanya akan menuai siksa dan dosa jika dilakukan. Jika tak
bertobat, tentunya nerakalah tempat kembalinya. Naudzubillahi min dzalik. Yuk,
kita sadar diri ya.
Belajar,
berdakwah, berjihad, dan amal shalih lainnya seringkali memberatkan kita.
Belajar seringkali dihinggapi rasa malas, berdakwah pun kerap mendapatkan
tekanan yang akhirnya kita futur, termasuk berjihad dan amalan shalih
lainnya menjadi beban berat kita. Padahal, semua itu jika kita tunaikan dan
dibarengi dengan keikhlasan, insya Allah akan mendatangkan pahala, dan juga
menjadi jalan menuju surga yang telah dijanjikan Allah Swt. bagi hamba-hambaNya
yang beriman dan beramal shalih.
Dunia
memang gemerlap, dan boleh saja kita nikmati. Tapi, jangan sampai gemerlap
dunia itu membuat kita lalai dan meninggalkan kewajiban kita. Sewajarnya saja
menikmati dunia, karena selebihnya dunia itu adalah ladang ujian yang harus
menjadi perhatian kita agar tak terjerumus dalam tipu dayanya.
Itu
sebabnya, kita memang boleh saja memiliki banyak harta, tapi jangan sampe
kekayaan yang kita miliki menjeremuskan kita ke dalam kesesatan atau membuat
kita lalai dari mengingat Allah Swt. dan RasulNya. Yakni membuat kita malas
berbuat baik atau enggan menginfakkan harta demi kemajuan Islam dan umatnya
ini.
Yup,
Islam nggak melarang kita menikmati segala macam perhiasan dan pernak-pernik
yang ditawarkan dunia. Tapi, sewajarnya saja kita meraihnya. Jangan sampai kita
tertipu dan gelap mata mencintainya untuk terus mengejarnya bak bayangan tak
bertepi atau terus dicari seolah tiada bosannya dan tiada akhirnya. Semoga
tidak demikian yang kita lakukan.
Jangan
takut mati
Kamu
yang ngefans sama grup band Ungu, pasti hapal deh lagu “Andai Kutahu”
yang dinyanyikan Pasha, vokalisnya. Seperti ini nih sebagian liriknya: “Andai
Kutahu, kapan tiba ajalku. Kuakan memohon: Tuhan tolong panjangkan umurku.
Andai kutahu, kapan tiba masaku, kuakan memohon: Tuhan jangan Kau ambil
nyawaku. Aku takut, akan semua dosa-dosaku. Aku takut dosa yang terus
membayangiku…”
Hmm..
sayangnya ‘permintaan’ Pasha dan Ungu-nya nggak bisa dikabulkan. Sebab,
Malaikat Ijrail tuh kalo mo datang nyabut nyawa kita nggak pake ngasih kabar
dulu, bahkan sekadar “missed call” sekalipun. Kalo ajal kita udah tiba, ya
langsung aja diambil, gitu lho. Nggak bisa ditangguhkan. Allah Swt. berfirman:
“Maka
jika telah datang waktunya (ajal), mereka tidak dapat mengundurkannya barang
sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS al-A’raaf [7]: 34)
Bro,
meski demikian, kita nggak usah merasa takut mati. Sebab, semua makhluk hidup
pasti akan mati. Cuma nih, kalo pun boleh takut adalah kalo kita selama di
dunia ini nggak nyiapin bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Kalo udah siap
bekal mah insya Allah nggak bakalan takut. Sebab, risiko orang hidup
yang paling tinggi adalah kematian. Berani untuk hidup, berarti berani
menghadapi risiko kematian.
Masalahnya,
gimana dengan bekal kita? Kalo dosa yang kita koleksi, sangat wajar jika kita
takut menghadapi kematian. Itu sebabnya, seminimal mungkin kita nggak berbuat
dosa. Syukur-syukur kalo nggak pernah berbuat dosa. Tapi, manusia nggak ada
yang sempurna kayak gitu deh. Pasti ada salahnya. Itu sebabnya, Rasulullah
ngasih tahu bahwa seluruh bani Adam tuh nggak bisa lepas dari salah (dosa).
Nah, sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang segera bertaubat. Dan,
jangan “tobat sambal”, lho. Tahu istilah “tobat sambal”? Yup, sekarang bilang
tobat, besoknya malah ngulangin lagi kemaksiatan. Aduh, jangan sampe deh ya.
Soalnya, rugi benar kita kalo pas lagi ngelakuin perbuatan dosa, eh nyawa kita
malah diambil. Naudzubillahi min dzalik.
Sobat,
betul bahwa kita jangan takut menghadapi kematian. Tapi bukan berarti kita
lantas menikmati dunia sebebasnya yang kita inginkan seolah nggak akan ada
kematian. Justru sebaliknya, “jangan takut menghadapi kematian” harus diartikan
bahwa hal itu pasti terjadi. Biasa aja gitu lho. Bahkan dunia ini juga akan
berakhir. Itu sebabnya yang diperlukan adalah persiapan. So, tugas kita
hanyalah berusaha sebaik dan sebanyak mungkin untuk mengumpulkan pahala.
Boys
and galz, orang yang baik-baik pasti akan
mati, begitu pula dengan orang yang bermaksiat pasti akan mati juga. Termasuk,
orang yang giat berdakwah dan berjuang untuk Islam juga akan mati, dan tentu
orang yang diam sambil bengong juga bakalan mati. Bedanya adalah nilai dan amal
yang dibawanya untuk menghadap Allah Swt. Betul ndak?
STUDIA
Edisi 322/Tahun ke-8 (1 Januari 2007)
0 komentar:
Posting Komentar