Sabtu, 19 Januari 2013 | By: Tuxedo Kamen

Banjir lagi... Banjir lagi...

Sudah beberapa bulan terakhir ini Jakarta diguyur hujan deras secara terus menerus dan lagi-lagi ketika terjadi banjir masalah yang paling sering timbul adalah BANJIR. Ya banjir, dan saat saya sedang menulis artikel ini pun, hujan sedang turun cukup deras mengguyur bumi.

Beberapa hari yang lalu saya melihat berita bahwa yang paling parah terjadi banjir ada diwilayah tangerang bekasi yang diberitakan ketinggian air mencapai 3-4 meter, Wooww... luar biasa. Sebenarnya masalah banjir ini adalah masalah klasik yang hampir pasti terjadi menimpa Jakarta disaat musim penghujan tiba, coba lihat poto-poto dibawah ini 














Sejarah pun mencatat Jakarta pernah dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, dan 1918. Selanjutnya banjir besar juga terjadi pada tahun 1976, 1996, 2002, dan 2007.

Luar biasa bukan? namun ada saja orang yang bilang, "kalo Jakarta gak banjir pas musim hujan, namanya bukan jakarta" Gubernur Jakarta Jokowi pun katanya bekerja keras dalam menanggulangi masalah musiman ini yang kerap menyambangi Jakarta. 

Namun ada yang perlu dicermati dalam musibah tahunan ini, apakah ini memang masalah pemimpin yang gak becus dalam menangani banjir atau masalah tata kota yang amburadul atau memang ini adalah masalah sistem yang berakibat pada berbagai macam bencana?

Prof Dr Ing Fahmi Amhar menyatakan kalau banjir itu cuma insidental, maka itu persoalan teknis belaka. Tetapi kalau banjir itu selalu terjadi, berulang, dan makin lama makin parah, maka itu pasti persoalan sistemik.

Menyalahkan cuaca sebagai penyebab banjir adalah lari dari tanggung jawab dan menutup mata dari penyebab utamanya; yakni keserakahan dan sikap abai terhadap pengurusan rakyat. Keserakahan pemerintah –khususnya pemerintah DKI Jakarta– terlihat dari bertambahnya titik banjir setiap tahun. Hal ini dikarenakan pemerintah DKI membiarkan, lebih tepatnya mengizinkan kawasan itu diubah menjadi pemukiman dan kawasan komersial.

Dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 56 situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan  Bekasi  telah menghilang. Yang tersisa pun mengalami pendangkalan dan kerusakan parah karena diabaikan oleh pemda. Sedangkan luas total situ di Jabodatabek berkurang drastis yaitu 2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya 1.462,78 hektare untuk 184 situ.

Padahal dengan potensi 42 danau, 13 sungai, kanal barat dan timur, serta curah hujan yang cukup besar hingga kapasitas 2 miliar kubik per tahun, seharusnya penduduk Jakarta bisa memiliki air tanah dan air bersih yang melimpah.

Akan tetapi keserakahan para penguasa dengan mengatasnamakan pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah merusak lingkungan, kongkalikong dengan kapitalis dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Maka program penanggulangan banjir apapun, termasuk rencana pembangunan deep tunnel tidak akan menyelesaikan persoalan. Karena akar persoalannya bukanlah pada tata ruang wilayah, akan tetapi pada ideologi yang dianut oleh seluruh penguasa negeri ini di daerah maupun pusat. Persoalan banjir di ibu kota  –dan wilayah manapun– akan terus terjadi bila penguasa tidak memiliki kemauan politik (political will) mengurus kepentingan publik.

Sejarah kekhilafahan Islamiyyah telah menunjukkan betapa syariat Islam sanggup menciptakan pemerintah yang peduli pada masyarakat dan menjaga lingkungan mereka. Misalnya di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.  Bendungan-bendungan tersebut di antaranya adalah bendungan Shadravan, Kanal Darian, Bendungan Jareh, Kanal Gargar, dan Bendungan Mizan.  Di dekat Kota Madinah Munawarah, terdapat bendungan yang bernama Qusaybah.  Bendungan ini memiliki kedalaman 30 meter dan panjang 205 meter.  Bendungan ini dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Madinah.  Di masa kekhilafahan ‘Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad, Irak.  Bendungan-bendungan itu terletak di sungai Tigris.  Pada abad ke 13 Masehi, di Iran dibangun bendungan Kebar yang hingga kini masih bisa disaksikan.

Kebusukan penguasa dan sistem yang saat ini diterapkan yang menyebabkan ibukota dan berbagai wilayah di tanah air setiap musim penghujan mengalami bencana banjir. Dengan mengubah pola pikir dan sistem sekarang menuju Islam maka persoalan ini tidak akan terjadi berlarut-larut seperti tanpa jalan keluar. 

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

0 komentar:

Posting Komentar