Kamis, 31 Januari 2013 | By: Tuxedo Kamen

Kewajiban Umat Islam Setelah Beriman Kepada Aqidah Islam


Kali ini kami ketengahkan sebuah materi kajian yang dimuat dalam situs Kantor Penerangan HT Pusat. Artikel ini membahas tentang konsekuensi yang harus dihadapi oleh siapa saja yang mengaku iman kepada Aqidah Islam, yakni iman dan berhukum kepada Syariat Islam. Sedikit dibahas juga mengenai posisi akal berhadapan dengan hukum syara’. Sebagaimana dalam kitab-kitab HT, artikel ini menegaskan bahwa dalam masalah syariat, akal tidaklah memiliki tempat, sebab seluruh hukum syara’ dibangun di atas wahyu alias dalil naqli. Adapun fungsi akal dalam hal ini hanyalah berusaha memahami pengertian dari nash-nash syara’ yang telah turun, memahami hakekat fakta yang ingin dihukumi dan menghubungkan antara fakta dengan hukum yang ada di dalam nash-nash syara’. Berikut uraiannya:


Seri Pelajaran Tentang Keimanan Yang Cemerlang

Pelajaran ke-17: Kewajiban Umat Islam Setelah Beriman Kepada Aqidah Islam

Terjemahan dari satu artikel dalam situs resmi Hizbut Tahrir

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Setelah mengimani Aqidah Islam, wajib bagi setiap muslim untuk mengimani Syariah Islam, semuanya tercakup dalam Firman Allah Ta’ala, يأيها الذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة , yang artinya: “wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhan” (TQS Al Baqarah ayat 208). Maksudnya: masuklah kalian kedalam Islam secara sempurnadengan seluruh syariatnya. Karena Syari’ah Islam datang dari Allah Ta’ala, mengingkarinya adalah kafir. Orang yang mengingkari Syari’ah Islam secara keseluruhan (jumlatan)adalah kafir, contohnya seperti orang yang berkata: “Sesungguhnya Islam adalah agama yang cocok dengan zaman unta, akan tetapi tidak relevan dengan zaman komputer dan internet.” Ingkar terhadap salah satu rincian hukum syara’ yang diambil dari dalil yang qoth’i dilalah dan qoth’i tsubut juga merupakan kekufuran, baik hukum tersebut merupakan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya –semisal hukum ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji dan jihad- ataupun juga hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya –semisal mu’amalat seperti hukum-hukum tentang pemerintahan, politik ekonomi, politik pendidikan, dan politik luar negeri- dan juga hukum-hukum persanksian –seperti hukum-hukum yang terkait dengan hudud, jinayat, ta’zir danmukholafat; atau pun hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan diri pribadinya, seperti hukum-hukum yang terkait dengan makanan dan minuman; pakaian dan perhiasan ataupun juga hukum-hukum yang berkaitan dengan sifat-sifat pribadi yang terpuji, seperti jujur, amanah dan menepati janji; serta hukum-hukum tentang sifat yang tercela, seperti dusta, khiyanat dan curang. 

Maka dari itu, kufur terhadap ayat :”dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (TQS Al-Baqarah 175) sama saja seperti kufur terhadap ayat “dirikanlah oleh kalian sholat dan tunaikanlah zakat” (TQS Al Baqarah 43); kufur terhadap ayat “dan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya” (TQS Al-Maidah 38) sama hukumnya dengan kufur terhadap ayat “wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan bagi kalian berpuasa” (TQS Al Baqarah 183) dan hukumnya juga sama dengan kufur terhadap ayat, “maka nikahilah wanita-wanita yang kalian sukai, dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat”. (TQS AN Nisa’ ayat 3). Imam al Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, ” Sesungguhnya seseorang mengatakan satu kalimat yang diridhai Allah dan ia tidak memberi perhatian terhadapnya, melainkan Allah akan mengangkatnya beberapa derajat. Sesungguhnya seorang hamba mengatakan kalimat yang dimurkai Allah dan ia tidak memberi perhatian terhadapnya melainkan ia terjerumus dengan sebab kalimah itu ke Jahannam”.

Wahai kaum muslimin

Penyerahan diri (taslim) terhadap hukum syara’ tidaklah bergantung kepada akal, sebab tugas akal hanyalah memikirkan tanda-tanda keberadaan Allah yang dapat ditangkap pada alam semesta, manusia dan kehidupan sehingga dapat memberi petunjuk kepada eksistensi Allah Ta’ala, memastikan bahwa Al-Qur’an benar-benar datang dari Allah Ta’ala dan bahwa Muhammad saw merupakan utusan Allah. Sementara itu, terkait dengan hukum-hukum syara’ yang mengatur kehidupan manusia, maka akal tidak memiliki peran dalam formulasinya. Tugas akal semata-mata hanyalah memahami fakta dan pengertian nash, setelah itu meneliti seberapa jauh relevansi nash untuk diterapkan kepada fakta, dalam rangka menggali hukum syara’. Tidak dikatakan bahwa, “untuk dapat menerapkan hukum syara’ maka akal harus meyakini hukum syara’ terlebih dahulu”, tidak demikian, akan tetapi wajib untuk menerapkan hukum syara’ dan terikat dengannya semata-mata karena adanya nash yang membawanya, terlepas dari apakah akal dapat memahaminya atau pun tidak. 

 Atas dasar itu, wajib hukumnya untuk berserah-diri secara mutlak terhadap segala (hukum) yang datang dari Allah, berdasarkan FirmanNya:

 (فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما) 

“Maka demi Tuhanmu, (pada hakekatnya) mereka tidak beriman sedemikian sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim atas apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menjumpai keberatan di dalam diri mereka terhadap apa yang kamu putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (TQS An Nisa 65). 

Imam Asy Syaukani menerangkan di dalam kitabnya “Fathul Qodir” ketika menafsirkan ayat yang mulia ini, “Ibnu Jarir berkata: Firman Allah “فلا” (maka tidak) merupakan jawaban bagi mereka yang tadi telah disebutkan, jika dibahasakan ulang, semisal dengan perkataan, “perkaranya tidaklah seperti klaim mereka, bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan kepada (para rasul) sebelum kamu”. Kemudian ia diikuti dengan sumpah pada firmanNya “وربك لا بؤمنون”  (dan demi Tuhanmu mereka (pada hakekatnya) tidaklah beriman). 

Dikatakan (oleh sebagian ulama) bahwa kata “tidak” didahulukan dari sumpah untuk memberi penekanan kepada nafiy (peniadaan iman) serta menampakkan kekuatannya (ketegasan),  Kemudian, penafi-an iman itu diulangi lagi setelah penyebutan sumpah dalam rangka menegaskannya kembali. Sebagian lain mengatakan bahwa tidak ada tambahan untuk menegaskan makna sumpah maupun penafian, maksudnya seperti ungkapan, “maka demi Tuhanmu mereka tidak beriman”. “حتى يحكموك” (sedemikian sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim), maksudnya: menjadikanmu sebagai pemberi putusan di antara mereka dalam segala macam urusan mereka dan mereka tidak berhukum kepada seorang pun selain dirimu. Dikatakan juga bahwa maknanya adalah: “mereka berhukum kepadamu dan tidak ada keterpaksaan untuk itu”. “فيما شجر بينهم” (Dalam apa-apa yang mereka perselisihkan), maksudnya: “yang menjadi persengketaan dan kebingungan di antara mereka”. 

Dari sini muncul kata syajar (pepohonan) karena percabangannya yang saling bersilangan. Tasyajaro ar rumaah (batang-batang pohon),maksudnya perbedaannya. “ثم لا يجد في أنفسهم حرجا مما قضيت”  (kemudian mereka tidak menjumpai keberatan dalam diri mereka terhadap apa yang engkau putuskan), dikatakan bahwa frase ini dikonjungsikan kepada kata yang dihilangkan (dielipskan), sebagaimana dikehendaki oleh konteks pembicaraan, yakni: “lantas engkau memberi keputusan hukum kepada mereka kemudian mereka tidak menjumpai keberatan”.  Haraj itu artinya kesempitan. Dikatakan juga bahwa artinya adalah keraguan (syak). 

Dari sini pepohonan yang terhimpun jadi satu disebut haraj atau harojah, dan jama’nya harooj. Dikatakan juga bahwa harojadalah dosa, artinya: mereka tidak menjumpai dosa dalam diri mereka disebabkan oleh keingkaran mereka terhadap apa yang engkau putuskan. “ويسلموا تسليما” (dan mereka menerima dengan sepenuhnya), maksudnya: mereka tunduk kepada perintahmu dan keputusanmu, tunduk tanpa menyalahinya sedikitpun. Az Zujaj berkata: “tasliman merupakan mashdar (gerund) mu’akkid (yang berfungsi memberi penegasan), yaitu dan mereka menerima keputusanmu secara penuh tanpa ada keraguan di dalam diri mereka dan tidak ada syubhat di dalamnya.” Dan jelas bahwa ketentuan ini berlaku bagi setiap individu dan dalam seluruh hukum. Dalam hal ini, terdapat ancaman yang tegas yang membuat bulu-kuduk merinding dan hati gemetar, pasalnya, ini adalah kali pertama Allah SWT bersumpah dengan diriNya sendiri dan menggunakan huruf nafi untuk menegaskan sumpah tersebut, yakni bahwasanya mereka sebenarnya tidak beriman. Kemudian Allah menafikan iman pada diri mereka –yang notabene iman itu merupakan induk dari segala amal kebaikan hamba-hamba Allah- kecuali jika mereka mau berhukum kepada Rusulullah saw. 

Bahkan, Allah tidak hanya mencukupkan sampai di sini, sehingga Dia berfirman,

 “ثم لا يجد في أنفسهم حرجا مما قضيت”

 (kemudian mereka tidak menjumpai keberatan di dalam diri mereka atas apa yang engkau putuskan). 

Maka dengan ini, Dia mengaitkan tahkim dengan masalah lain, yakni tidakadanya rasa keberatan. Yaitu: keberatan dalam dada mereka. Kemudian bertahkim dan patuh saja (kepada Muhammad) ternyata tidaklah cukup, kecuali jika telah terwujud –di dalam lubuk hati- keridhoan ketenangan, kesejukkan dan kelapangan hati serta jiwa yang baik. Kemudian, semua itu ternyata juga belumlah cukup, akan tetapi, dilanjutkan lagi dengan Firman Allah “ويسلموا” (dan mereka menerima) maksudnya: mematuhi, serta tunduk baik lahir maupun batinnya. Kemudian, Allah ternyata juga tidak mencukupkan sampai di sini, akan tetapi disambung lagi dengan mashdar mu’akkid, sehingga Dia berfirman: “تسليما” (pasrah/menerima secara mutlak). 

Dengan ini maka, seorang hamba tidaklah dianggap memiliki iman sampai ada tahkim tersebut di dalam dirinya, dan tidak terdapat keberatan di dalam dadanya terkait dengan apa yang diputuskan terhadapnya, dan dia menerima hukum Allah dan syariatNya secara penuh, tidak dicampuri oleh penolakkan dan tidak dinodai oleh penyelisihan. Imam al-Bukhori meriwayatkan bahwa seseorang dari kalangan Anshor berselisih dengan Az Zubair mengenai mata air Al Harrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda: “Alirilah kebunmu wahai Zubair, setelah itu berikanlah kepada tetanggamu.” Tetapi laki-laki Anshar itu marah seraya berkata; “Wahai Rasulullah, apakah karena ia anak dari pamanmu!” Maka Wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerah, kemudian beliau bersabda: “Wahai Zubair, airilah kebunmu, setelah itu tahanlah hingga airnya kembali ke dalam tanah kemudian berikanlah kepada tetanggamu!” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berharap agar Zubair bisa memahami mengenai haknya dengan keputusan yang tegas. 

Padahal sebelumnya beliau memberikan kemudahan untuk Zubair dan orang Anshar, tapi ketika orang Anshar marah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akhirnya beliau memberikan semua bagian kepada Zubair. Zubair radliallahu ‘anhu berkata; “Demi Allah, aku mengira bahwa ayat ini tidak turun kecuali berkaitan dengan masalah itu: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS; an Nisaa`; 65).”

Wahai kaum muslimin,

cukuplah sampai disini kiranya halaqoh kita kali ini, kita akan kembali pada halaqoh yang akan datang, insyaallah. Semoga sampai saat itu tiba dan sampai kapan pun kita jumpa, kami selalu meninggalkan anda sekalian dalam pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan Allah, seraya mengharap kepada Al Maula Tabaroka wa Ta’ala untuk memuliakan kita dengan Islam dan memuliakan Islam dengan (perjuangan) kita, dan semoga Dia berkehendak untuk memuliakan kita dengan pertolonganNya, dan mengijinkan mata-mata kita untuk menyaksikan berdirinya Negara Khilafah dalam waktu yang dekat dan sesegera mungkin, semoga Dia menjadikan kita sebagai bala tentara dan syuhada’-syuhada’nya, sesungguhnya, innahu Waliyyu dzalika wal Qodiru ‘alaih.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahu wa barakatuh

Translated by ttx

Sumber:
http://www.titokpriastomo.com/pemikiran-islam/kewajiban-umat-islam-setelah-beriman-kepada-aqidah-islam.html

0 komentar:

Posting Komentar